Sabtu, 12 Juni 2010

BERKOMUNIKASI DENGAN ORANG MATI
Oleh: Muhammad Luthfi Ghozali

Bismillahi Allahu Akbar, Wassholaatu was Salamu alal Mukhtar, wa ala Alihi wa AssHababihi wa Muhibbihil akhyar, amma ba’du. Mohon izin saya mau menulis, orang boleh membaca boleh tidak, boleh percaya boleh tidak, boleh senang boleh marah, boleh memuji boleh mencela, tatapi yang terpenting jangan ada yang percaya sebelum mencoba. Ketika orang menyangka “mati” merupakan batas antara dua alam, alam kehidupan (alam hayat) dengan alam kematian (alam maut). Yang satu hidup di dunia dan satunya mati dan kembali menjadi tanah, sehingga hubungan dua alam itu terputus untuk selamanya. Orang hidup dan orang mati tidak bisa saling memberi kemanfaatan. Keduanya tidak bisa saling berucap salam, sehingga sholawat dan salam kepada baginda Nabi SAW berarti sia-sia, mendo’akan orang mati yang bukan orang tuanya berarti batal, tawasul dan ziarah kubur dianggap syirik, mengidolakan orang mati berarti kultus individu, maka barangkali seperti itulah pemahaman orang yang hatinya ingkar akan hari akhirat dalam pertanyaan yang mereka lontarkan kepada Tuhan. Allah mengabadikan pertanyaan itu dengan firmanNya: وَقَالُوا أَئِذَا ضَلَلْنَا فِي الْأَرْضِ أَئِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ بَلْ هُمْ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ كَافِرُونَ “Dan mereka berkata: "Apakah bila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?”. Bahkan (sebenarnya) mereka ingkar akan menemui Tuhannya”. (QS. as-Sajadah: 32/10) Sebagian teman mengira, setelah orang mati, berarti tidak ada lagi hubungan dengan orang hidup,… selesai dan orang mati itu tidak boleh dido’akan kecuali oleh anaknya sendiri yang sholeh. Sedangkan bagi orang lain, sejak itu tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk temannya yang sudah mati, sehingga kematian itu dianggap sebagai batas kemanfaatan hidup. Orang tersebut memahami keyakinan hatinya dari sebuah Hadits Nabi SAW yang sangat masyhur yang artinya: “Apabila anak Adam mati maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal, yaitu shodaqoh jariyah atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang sholeh yang mendo’akan kepadanya”. Barangkali karena mengartikan hadits ini didasari keyakinan yang berlebihan, maka mereka menjadi terjebak kepada pemahaman yang salah. Di dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW mengatakan “terputus amalnya” (In qotho’a ‘amaluhu) bukan “terputus kemanfaatannya” (In qotho’a Naf’uhu). Kalau seandainya Nabi SAW mengatakan terputus kemanfaatan, maka benar adanya, bahwa orang mati tidak ada hubungan lagi dengan orang hidup, sehingga apapun yang dikerjakan oleh orang hidup untuk orang mati tidak sampai. Rasul SAW mengatakan “terputus amalnya”, yang artinya bahwa anak Adam yang sudah mati terputus amalnya. Sejak itu mereka sudah tidak dapat beribadah lagi, mereka tidak dapat mencari pahala (makanan untuk ruhnya) sebagaimana saat mereka masih hidup di dunia. Jika orang mau mencermati makna yang terkandung dalam hadits tersebut dengan hati yang selamat, sesungguhnya hikmahnya sebagai berikut; Dengan hadits itu justru Nabi menganjurkan supaya orang hidup mau mendo’akan orang mati, karena sejak jasadnya di kubur, temannya itu tidak dapat lagi mengusahakan pahala untuk dirinya sendiri, kecuali kiriman dari tiga hal tersebut. Itu pun, manakala orang mati itu memiliki ketiganya. Apabila tidak, maka hanya do’a-do’a dari temannya yang masih hidup itulah yang sangat mereka butuhkan untuk menghibur kesepiannya di alam kubur. Allah memerintahkan agar orang mendo’akan orang lain: وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. at-Taubah: 9/103) Ayat di atas menyatakan bahwa mendo’akan orang lain, baik kepada orang hidup maupun orang mati pasti sampai, yakni berupa ketenangan batin bagi orang yang dido’akan. Bahkan (sudah dimaklumi) termasuk syarat syahnya shalat Jum’at, khotib diwajibkan memohonkan ampun kepada saudara-saudara seiman, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Bahkan pahala orang mati masih dapat berkurang dan bertambah, berkurang karena perbuatan jeleknya diikuti orang lain dan bertambah karena tapak tilas perbuatan baiknya diikuti oleh penerusnya serta do’a yang dipanjatkan orang lain. Bahkan dosa dan pahala itu tidak berhenti bertambah dan berkurang kecuali saat hari kiamat sudah datang. Allah menyatakan hal itu dengan firman-Nya: كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ “Tiap-tiap jiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”. (QS. Ali Imran: 3/185) * Anda jangan sekali-kali mencoba mati untuk sekedar membuktikan kebenaran isi tulisan ini, karena yang pasti Anda tidak akan kembali lagi di dunia. Manusia menjalani kehidupan dalam tiga zaman, pertama di ALAM RUH, kedua di ALAM DUNIA dan ketiga ketiga di ALAM AKHIRAT. Di dalam ALAM DUNIA manusia mengalami tiga tahapan kehidupan. Pertama di alam rahim, kedua di alam kehidupan dunia, ketiga di alam barzah. Di ALAM AKHIRAT manusia juga akan mengalami beberapa tahapan kehidupan di antaranya alam mahsyar, alam hisab, alam mizan dan kemudian melintasi shirothol mustaqim baru masuk alam akhirat. Jadi, alam kehidupan dunia dan alam barzah sesungguhnya berada dalam dimensi zaman yang sama namun dalam dimensi ruang yang berbeda. Manusia Karakter dan Manusia Personal Manusia adalah makhluk lahir batin. Makhluk lahir disebut “manusia sebagai personal”, makhluk batin disebut “manusia sebagai karakter”. “Manusia sebagai personal”, diciptakan dari debu, masa hidupnya sangat terbatas. Kehidupan tersebut hanya sebatas usia hidupnya di dunia. Ketika ajal kematian tiba, maka mati itu sedikitpun tidak dapat dimajukan atau dimundurkan. Setelah matinya “manusia sebagai personal” akan kembali menjadi tanah. Adapun “manusia sebagai karakter” akan hidup untuk selama-lamanya. Sejak dikeluarkan dari sulbi Nabi Adam as. di alam ruh kemudian dilahirkan oleh ibunya di dunia, selanjutnya akan dibentuk oleh lingkungannya menjadi orang mulia atau orang hina. Sejak hidupnya di alam ruh itu “manusia sebagai karakter” akan hidup untuk selamanya, baik di dunia, di alam barzah kemudian di alam akherat. Semasa hidupnya di dunia, manusia sendiri yang harus merubah karakternya, dengan ilmu dan amal, membentuk karakter itu supaya menjadi karakter yang mulia. Sebagai ash-shiddiq, asy-Syuhada’ atau ash-Sholihin sebagaimana yang telah digambarkan Allah dengan firman-Nya; "Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi kenikmatan dari Allah, yaitu para Nabi, Shiddiqin, para Syuhada' dan para Sholihin. Dan mereka itulah teman yang baik ".(QS. 4; Ayat 69). Sebutan-sebutan tersebut merupakan gambaran karakter manusia sekaligus menujukkan tingkat derajat seorang hamba disisi Allah Ta'ala. Ketika ajal kematian di dunia tiba, manusia batin itu akan dihidupkan lagi, sejak di alam barzah sampai di akherat nanti. Manakala ia mati sebagai seorang Syuhada’ atau mati syahid, maka di alam barzah akan hidup merdeka di kebun-kebun surga dengan mendapatkan rizki dari Tuhannya dan di alam akherat dimasukkan ke surga bahagia untuk selama-lamanya. Kalau ia mati sebagai orang kafir, maka kehidupan selanjutnya akan tertahan di penjara untuk selama-lamanya, baik sejak di alam barzah maupun di akherat nantinya. Yang dimaksud bermonunikasi dengan orang mati adalah melaksanakan “Interaksi Ruhaniah” antara orang hidup dengan orang mati, yakni; “manusia sebagai personal” berkomunikasi dengan “manusia sebagai karakter” di dalam perasaan ruhaniah, bukan di dalam bayangan hayaliyah. Atau dengan istilah lain; Hubungan timbal-balik atau interkoneksi antara al-Mu’minun dengan ash-shiddiq, asy-Syuhada dan ash-Sholihin. Hubungan dua alam yang berbeda itu bisa dilaksanakan, karena ruh orang hidup (manusia sebagai karakter) memang berpotensi bertemu dan berkomunikasi secara ruhaniah dengan ruh orang lain (manusia sebagai karakter), baik dengan sesama orang hidup (di alam mimpi maupun di alam jaga) maupun dengan ruh orang mati (di alam barzah). Allah menyatakan hal itu dengan firmanNya: اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan memegang jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya, maka Dia tahanlah jiwa yang Dia telah tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”. (QS.az-Zumar: 39/42) Firman Allah:الله يتوفى الأنفس Allahu Yatawaffal Anfusa, (Allah memegang jiwa-jiwa) artinya; Allah mengumpulkan jiwa-jiwa manusia di dalam satu kondisi, jiwa orang mati dan jiwa orang tidur. Jiwa-jiwa tersebut dimasukkan dalam dimensi yang sama, lalu Allah menahan jiwa orang mati dan melepaskan kembali jiwa orang hidup sampai batas usia yang sudah ditentukan di dunia. Di saat jiwa orang tidur dan jiwa orang mati itu dikumpulkan dalam satu dimensi, hal tersebut merupakan kesempatan di mana kedua jiwa yang datangnya dari dimensi yang berbeda itu dapat berkomunikasi. Baik sebagai mimpi di saat manusia sedang tidur maupun dikondisikan seperti memasuki dimensi alam mimpi di saat manusia melaksanakan ‘meditasi Islami’ atau mujahadah dan riyadhah di jalan Allah. Konkritnya, ketika aktifitas jasmani sedang lemah karena orang sedang tidur, maka secara otomatis aktifitas Ruh menjadi kuat, lalu terjadilah pengembaraan ruhaniah. Dengan izin Allah jiwa orang tidur tersebut menembus batas ruang pembatas (hijab). Jiwa itu menembus pembatas dua samudera: “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu - antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing”. (QS: 55; 19-20), yakni menembus pembatas alam malakut. Di alam malakut itulah jiwa orang tidur dipertemukan dengan ruh orang mati. Selanjutnya terjadilah apa yang dapat terjadi sesuai kehendak Allah. Kejadian tersebut terekam di alam jasmani dan ketika manusia bangun dari tidurnya, rekaman tersebut dibaca oleh akal. Peristiwa yang dibaca akal itulah yang disebut mimpi, hanya saja mimpi seperti ini masih membutuhkan penta'wilan dari ahlinya. Bagi orang yang ruhaniahnya telah dihidupkan pada derajat tertentu, sebagai buah mujahadah dan riyadhah yang dijalani, ketika pengembaraan ruhaniah itu telah melewati batas yang telah ditentukan, maka dengan izin Allah seorang hamba akan dibukakan hijab-hijabnya, sehingga dengan matahati (bashiroh) nya dia dapat melihat atau merasakan secara langsung kejadian yang terjadi di alam ruhaniah tersebut. Manakala pengkondisian ini dilakukan melalui pelaksanaan tawasul kepada guru ruhaniah yang sudah wafat, kemudian terjadi arus balik antara dua dzikir yang berbeda, yang satu menyampaikan munajat dan satunya penyampaian syafa’at, maka demikian itulah yang dimaksud dengan hakekat “Interaksi Ruhaniah”, atau berkomunikasi dengan orang mati. Seperti orang mengirim email misalnya, dari situs yang satu kepada situs yang lain, manakala hal tersebut mampu mentranfer ilmu pengetahuan kepada orang yang dikirimi, maka hal tersebut bisa dikatakan sebagai berkomunikasi. Jadi, yang dimaksud berkomunikasi dengan orang mati itu tidak selalu dengan suara atau kata-kata yang bisa didengar telinga atau dengan penampakan yang dapat dirasakan penglihatan dalam mimpi, melainkan juga dengan saling mengirim rasa yang dimuati data, sehingga orang yang asalnya tidak faham menjadi faham, tidak mengerti menjadi mengerti. Hati yang asalnya susah menjadi gembira, dada yang asalnya sempit jadi lapang. Semua itu bisa terjadi, tentunya karena ada interaksi, padahal adanya interaksi, karena terkondisi dengan resonansi. Yang pasti, orang-orang yang gugur di jalan Allah, baik di medan perang maupun di atas ranjang, mereka itu dapat melihat kita, namun sayangnya kebanyakan kita tidak dapat merasakan keberadaan mereka: وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak merasakan (kehidupan mereka)”.(QS.al-Baqoroh/15
4)

*) Jika Anda ingin mencoba membuktikan kebenaran teori ini, silahkan….!! Pekerjaan ini tidak terlampau berbahaya, asal prakteknya mendapat bimbingan orang yang berpengalaman. Dengan sedikit modal keberanian, seorang SARKUB sejati dapat membimbing Anda. Jangan sekali-kali Anda mencoba mempraktekkannya sendiri, karena resiko yang paling ringan saja, bisa-bisa untuk sementara waktu Anda harus menjadi penghuni RSJ.

Menembus Pembatas Dua Samudera 1

Ibnu Abbas RA di dalam menafsirkan ayat di atas (QS. az-Zumar/39; 42) berkata:

قَال: بَلَغَنِى أَنَّ أََرْوَاحَ الأَحْيَآءِ وَالأَمْوَاتِ تَلْتَقَى فِى الْمَنَامِ فَيَتَسَاءَلُوْنَ بَيْنَهُمْ, فَيُمْسِكُ اللهُ أَرْوَاحَ الْمَوْتىَ وَيُرْسِلُ أَرْوَاحَ الأَحْيَآءِ إِلَى أَجْسَادِهَا .
“Telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya ruh orang hidup dapat bertemu dan berkomunikasi dengan ruh orang yang sudah mati di dalam mimpinya, kemudian ruh orang mati ditahan oleh Allah, sedang ruh orang yang sedang tidur dilepaskan kembali kepada jasadnya”. (Ibnul Qoyim, “Kitab ar-Ruh”; 19)

Ibnu Abi Khaitam RA berkata di dalam penafsirannya atas firman Allah: "Wallaatii Lam Tamut fii Manaamihaa” (dan ruh yang belum mati di dalam tidurnya). berkata: "Allah memegang ruh orang yang mati dalam tidurnya, maka ruh orang yang hidup bertemu dengan ruh orang yang telah mati, mereka saling berkomunikasi dan saling mengenal. Kemudian ruh orang hidup dikembalikan ke jasadnya di dunia untuk meneruskan sisa hidupnya yang sudah ditentukan dan ruh orang yang sudah mati dikembalikan kepada jasadnya yang di tanah”. (Ibnul Qoyim, Kitab ar-Ruh: 19)

Alam jasmani dan alam ruhani ibarat dua samudra yang dibatasi daratan sehingga keduanya tidak dapat bertemu, akan tetapi dengan kehendak Allah suatu saat dibiarkan bertemu, seperti alam mimpi dan alam jaga. Sesungguhnya alam mimpi itu bagian dari alam barzah. Terbukti, seandainya orang yang bermimpi itu tersesat jalan di alam mimpinya hingga tidak dapat kembali ke alam jaga, maka bisa dibayangkan apa yang dilakukan oleh orang lain terhadap jasad yang telah ditinggalkan kehidupan tersebut, tentunya segera diantar ke liang lahat. Allah menyatakan dua alam itu dengan firman-Nya:

مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ (19) بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَا يَبْغِيَانِ
“Dia (Allah) membiarkan dua lautan mengalir yang kemudian saling bertemu-Antara keduanya ada batas yang tidak dapat dilampaui”. (QS. ar-Rahman/55; 19-20)

Dimensi jasmani disebut Basyariah, sedangkan dimensi ruhani disebut Nubuwah atau Risalah bagi seorang Nabi/Rasul, dan disebut Walayah (bagi orang beriman yang sholeh)”. Allah SWT berfirman:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
“Katakan bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa”. (QS. Fushilat:/41; 6)

Yang dimaksud basyariah adalah ‘Ruh kehidupan’ yang menghidupi ‘jasad kasar’ manusia, baik yang terbit dari kemauan (irodah) maupun kemampuan (qudroh). Basyariyah ini mencakup segala aspek kecerdasan manusia termasuk juga intelektual, spiritual dan emosional. Adapun yang dimaksud Nubuwah atau “walayah” adalah apa yang dimaksud dengan ayat di atas; يُوحَى إِلَيَّ Yuuhaa ilaiyya (diwahyukan kepadaku). Yaitu berupa wahyu atau ilham atau inspirasi yang masuk di dalam hati orang beriman yang datangnya dari urusan ketuhanan. Dengan walayah itu supaya manusia terbimbing mengikuti hidayah Allah sehingga jalan hidupnya berjalan mengikuti ‘ketetapan Allah’ sejak zaman azali. Rasulullah SAW menyatakan hal itu dengan sabdanya: "Allah mendidikku dan Allah memperbaiki pendidikan-Nya kepadaku” (atau dengan kalimat yang searti). Sebagaimana juga yang dinyatakan Allah melalui firman-Nya:

إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ
“Sesungguhnya Waliku ialah Allah yang telah menurunkan al-Kitab (al-Qur'an) dan Dia memberikan Walayah kepada orang-orang yang sholeh”. (QS.al-A’raaf: 7/196)

Dengan walayah berarti manusia mendapat dua ‘ruh kehidupan’, pertama dari seluruh aspek kecerdasannya sendiri dan kedua yang datang dari rahasia tarbiyah (pemeliharaan) Allah. Dengan walayah berarti manusia mendapatkan tingkat derajat atau Maqom di sisi Allah, meskipun maqom itu secara lahir merupakan buah ibadah dan perjuangan. Dengan maqom itu seorang hamba berpotensi mendapatkan fasilitas (syafa’at), baik secara ilmiah maupun amaliah yang hakekatnya merupakan sistem tarbiyah rahasia yang isinya berupa penjagaan, pertolongan dan pemeliharaan yang sumber asalnya datang dari warisan para Nabi dan para Rasul. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

العلمآء ورثة الأنبيآء
"Ulama' adalah pewaris para Nabi”.
Untuk menghidupkan kehendak walayah, manusia terlebih dahulu harus mampu meredam kehidupan basyariyah, yang demikian itu dilakukan dengan tujuan semata-mata menggapai ridlo Allah. Itulah hakekat mujahadah di jalan Allah atau dengan istilah lain disebut “meditasi Islami”.

Ketika dengan mujahadah dan riyadhah yang dilakukan, seorang salik berhasil menghidupkan kehendak wilayah-walaupun sedetik atau lebih singkat dari itu, maka berarti saat itu memasuki suatu kondisi seperti “alam orang mati” atau “alam orang tidur”. Sebagaimana yang dimaksud dengan ayat di atas: “Allahu Yatawaffal an-fusa Hiina Mautihaa” (QS. 39: Ayat 42), itulah yang dimaksud "mati dalam hidup". Dalam keadaan seperti itu, orang tersebut berpeluang memasuki suatu potensi terjadinya interaksi ruhaniah, baik terhadap orang hidup maupun orang mati, namun itu manakala mujahadah dan riyadhoh tersebut sejak awal sudah dikondisikan dengan pelaksanaan tawasul secara ruhaniah kepada guru-guru ruhaniah baik yang hidup maupun yang sudah meninggal dunia.

Menembus Pembatas Dua Samudera 2

Ketika proses pelaksanaan dzikrulah dilakukan oleh seorang salik dengan benar sehingga mampu melewati titik kulminasi antara dua alam, maka akan membuahkan suatu proses pemahaman hati yang disebut Fikir, lalu buah Fikir itu disebut Ibroh (kesimpulan). Yang dimaksud dengan Dzikir, Fikir dan Ibroh adalah tingkat pencapaian (maqamaat) yang harus dicapai oleh seorang hamba dalam rangka melaksanakan mujahadah dan riyadhoh di jalan Allah:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(QS.Ali Imran/191)

Setiap terjadi perpindahan dari satu tingkat kepada tingkat yang lain, dengan izin Allah seorang salik memasuki titik klimaks perjalanan ruhani, itulah batas alam lahir dan alam batin yang ada dalam jiwa manusia. Meskipun titik klimaks itu dialami hanya dalam waktu sangat singkat, yang keadaannya seperti antara sadar dan tidak sadar padahal sadar, saat-saat seperti itu merupakan kondisi yang sangat ditunggu-tunggu oleh para salik. Karena setelah masa klimaks itu terlampaui dan kesadaran berangsur-angsur kembali sempurna, segala sesuatu yang datangnya dari ‘urusan ketuhanan’ dapat terjadi diluar dugaan. Ketika pengosongan terkondisi dengan sempurna maka yang masuk setelah itu diharapkan datangnya dari urusan ketuhanan.

Dalam keadaan seperti itu, seorang salik dapat merasakan kenikmatan ruhani yang luar biasa yang tidak dapat digambarkan oleh suatu katapun. Kenikmatan ruhaniyah tersebut akan membekas seumur hidup. Demikian itu karena hati sang pengembara telah mendapatkan “Futuh” (terbukannya matahati) dari Tuhannya. Hati yang rindu telah menemukan ‘buah ibadah’ yang dipetik di dunia yang selanjutkan mampu dijadikan landasan untuk melanjutkan perjalanan. Dengan pengalaman spiritual itu, menjadikan mereka tidak lagi mudah tergoda oleh tipu daya setan yang selalu menghadang jalan ibadah.

Seperti itulah proses masuknya ‘ilmu rasa’. Pemahaman hati yang mampu menancapkan kenikmatan azaliah yang diturunkan di dunia fana yang terkadang menjadikan hati seorang hamba ‘mabuk cinta’ sehingga mendorongnya berbuat lebih mengutamakan urusan akherat daripada urusan dunia. Pengalaman spiritual yang mampu menjadikan hati seorang hamba yakin terhadap Allah, rasul-Nya dan hari akherat. Ilmu batin yang menjadikan manusia mampu menindaklanjuti dan mengaplikasikan seluruh potensi kecerdasan secara lahir yang sudah dimiliki. Ilmu yang menjadikan manusia pandai berbuat untuk menata diri sendiri bukan hanya pandai berbicara untuk menata urusan orang lain. Keadaan yang dipaparkan di atas digambarkan Allah dengan beberapa ayat di bawah ini. Allah berfirman-Nya:

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ - وَمَا أَمْرُنَا إِلَّا وَاحِدَةٌ كَلَمْحٍ بِالْبَصَرِ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran * Dan urusan Kami hanyalah satu, bagai satu kedipan mata”. (QS. al-Qomar/54; 49-50)

Di dalam al-Qur`an Surat yang lain Allah telah menggambarkannya dengan lebih terperinci sebagaimana firman-Nya:

إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى (16) مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى (17) لَقَدْ رَأَى مِنْ آَيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
“Ketika Sidroh diliputi oleh yang meliputi - Penglihatan tidak berpaling dan tidak melampaui - Sesungguhnya dia telah melihat sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Tuhannya yang paling besar”. (QS. an-Najm/53; 16-18)

Lafad as-Sidroh dalam ayat di atas, menurut pendapat sebagian Ulama' ahli tafsir, ialah asy-Syajaroh, yang berarti pohon. Yaitu pohon yang tumbuh di dalam hati sanubari seorang hamba. Sebagaimana termaktub dalam QS. Ibrahim; 24.

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan, Kalimat yang baik seperti Pohon yang baik.....". (QS. Ibrahim; 14/24)

Adapun secara khusus yang dimaksud lafad “Sidroh” adalah Sidrotul Muntaha. Sebagaimana firman Allah:

عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهى
“Di Sidrotil muntaha”. (QS. 53; 14)

Sidrotulmuntaha adalah maqaamat (terminal) terakhir yang mampu dicapai indera (alat perasa) makhluk meskipun harus dengan bimbingan Wahyu. Artinya; setelah seorang hamba mampu melewati terminal tersebut, berarti ia akan memasuki dimensi yang berbeda. Yakni dimensi alam ruhaniah, di mana seorang hamba berpotensi berinteraksi dengan ruhani para guru-guru ruhaniah yang sudah wafat. Seperti orang berhasil membuka situs di alam mayapada (internet), kemudian ia melihat data, ketika ia berhasil men-download apa-apa yang dilihatnya ke dalam file yang ada di dalam hard disk computernya, maka proses perpindahan data dari situs ke dalam file tersebut adalah gambaran proses masuknya “Ilmu Laduni” dalam hati seorang murid yang dihasilkan melalui proses interaksi antara seorang murid dengan guru mursyidnya yang sudah mati atau disebut BERKOMUNIKASI DENGAN ORANG MATI.

Hal tersebut bisa terjadi, bukan karena ruh orang mati hadir kembali di dunia, namun dengan izin Allah ruhani orang yang masih hidup berpotensi menembus dimensi alam barzah serta dapat memindahkan apa-apa yang disimpan di sana. Yang dipindahkan itu adalah atsar (tapak tilas ibadah) yang sudah dilakukan oleh para pendahulunya. Atsar tersebut, walaupun pemiliknya sudah meninggal dunia akan tetap terjaga sampai hari kiamat di Lauh Mahfudz, sebagai sebuah diary yang nantinya dapat dibaca kembali oleh pemiliknya. Bagaikan situs yang bertebaran di mayapada, maka seorang hamba yang mampu mengakses dengan pelaksanaan tawasul kepada pemiliknya dapat memanfaatkan data maupun fasilitas yang tersimpan di dalamnya. Allah mengisyaratkan hal itu dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfudh)”. (QS. Yaasin; 12)

Jadi, salah satu buah yang bisa dipetik dari hasil sebuah proses interaksi ruhaniah antara murid dan gurunya adalah ‘ilmu laduni’ yang diwariskan oleh pemilik sebelumnya yaitu guru Mursyid yang ditawasuli, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Buah yang dipetik itu adalah bentuk transfer pemahaman hati, bukan ilmu pengetahuan secara aqliah dan juga bukan penampakan secara hayaliah. Inilah buah thoriqoh yang paling utama, maka jadilah kadang-kadang ilmu yang dimiliki para murid sama jenis dan sifat dengan ilmu yang dimiliki guru Mursyidnya.

Manakala buah yang didapatkan dari interaksi antara dua dimensi yang berbeda itu berupa penampakan-penampakan dalam bentuk gambar yang masih mengandung keraguan dalam hati, maka yang demikian itu bukan merupakan buah interaksi ruhaniah yang dicari. Akan tetapi hasil rekayasa sihir yang dimunculkan oleh setan jin di dalam hayal manusia yang tujuannya untuk menyesatkan perjalanan ibadah. Hal itu bisa terjadi, karena pelaksanaan tawasul tidak terbimbing oleh guru ahlinya. Akibat dari itu, orang tersebut hanya pandai berbicara tetapi tidak dapat mengetrapkan ilmunya dalam perilaku hidupnya sendiri. Allah memberikan gambaran orang tersebut dengan firman-Nya yang artinya: "Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata".(QS.al-Hajj/11)
Ilmu Mukasyafah

Ilmu yang paparkan di atas adalah bagian dari “Ilmu Mukasyafah” yakni ilmu yang mempelajari seluk beluk hati. Apabila kinerja hati tumpul, berarti hatinya bodoh sehingga membutuhkan belajar, apabila kinerja hati tidak terarah berarti hatinya buta sehingga membutuhkan obat dan terapi. Di situlah ilmu mukasyafah menempatkan diri, merupakan pemahaman dalam ‘rasa’ (hati) bukan di dalam rasio(akal). Ilmu pengetahuan yang sangat luas dan bahkan tidak terbatas, bagaikan samudera yang tidak bertepi. Karena luasnya ilmu ini, maka di dalamnya terdapat banyak hal yang tidak sanggup ditampilkan dengan bahasa tulisan kecuali dengan perumpamaan atau i'tibar.

Sebagaimana dimaklumi, untuk memindahkan pengetahuan dari orang satu kepada orang yang lain membutuhkan alat, dan alat tersebut adalah bahasa. Sedangkan bahasa juga membutuhkan uraian dan penjelasan serta bukti-bukti dan dalil-dalil. Namun bagaimana halnya terhadap suatu tontonan misalnya—yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga dan belum pernah terlintas dalam benak siapapun. Bagaimana cara untuk menerangkan dan menguraikannya? Maka tidak ada cara lain kecuali dengan i'tibar. Al-Qur'an banyak mencontohkan perihal tersebut, bahkan Allah telah memerintah hamba-Nya untuk beri'tibar dengan firman-Nya:

فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
“Beri'tibarlah hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS.al-Hasyr; 59/2)

Manusia hanya mampu beri'tibar dengan mengutip dalil-dalil naqliyah saja, baik dari al-Qur'an maupun al-Hadits tanpa mampu bertanya bagaimana atau berusaha minta penjelasan lagi kepada siapapun secara aqliyah. Ketika seorang hamba membaca isyaroh dari Allah tentang hal yang ghaib melalui tamsil, maka mereka hanya mampu menampilkan tamsil itu dengan apa adanya. Allah dalam hal ini hanya memberikan tamsil kepada hamba-Nya, agar mereka dapat memahami dan membayangkan terhadap sesuatu yang ditamsilkan itu sekedarnya sesuai kesanggupan imajinasi yang terbatas.

Namun dalam kaitan ilmu mukasyafah ini yang terpenting ialah: “Dengan melaksanakan mujahadah dan riyadhah melalui seluruh ‘amalan lahir’, seperti shalat, puasa, zakat dan lain sebagainya, bagaimana seorang hamba berhasil mendapatkan futuh atau terbukanya matahati sehingga dapat mengetahui sesuatu yang semestinya samar bagi orang lain, dengan pengetahuan itu hatinya menjadi semakin bertakwa kepada Tuhannya, itulah yang disebut ‘amalan batin’. Adapun amalan batin yang derajatnya paling tinggi adalah Ma'rifatullah atau mengenal Allah. Jadi, ilmu mukasyafah itu bukan ilmu yang didapat dari membaca tulisan atau mendengar ucapan tetapi dihasilkan dari buah mujahadah dan riyadhoh di jalan Allah.

Oleh karena ilmu mukasyafah adalah buah ilmu dan amal, maka cara mendapatkannya hanya dengan jalan beribadah kepada Allah. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami” (QS.alAnkabut (29)69). Dengan hidayah yang telah dijanjikan tersebut, seorang hamba akan mendapatkan apa yang diharapkan dalam pelaksanaan ibadah yang dijalani atau thariqah. Buah toriqoh itu berupa cinta dan ma’rifat kepada Tuhannya yang menghantarkan mereka kepada keridlaan-Nya baik di dunia maupun di akherat nanti.

Hal tersebut seperti yang tersirat dalam munajat yang dipanjatkan oleh para salik pada setiap kali mereka melaksanakan wirid yang diistiqamahkan: “Wahai Tuhan kami, hanya Engkau tujuan kami dan ridla-Mu yang kami cari, maka berilah kami Ma’rifat dan cinta kepada-Mu”. Artinya; Ma’rifat dan Cinta itu akan menjadi landasan amal ibadah untuk menggapai ridla Allah, sedangkan guru mursyid yang ditawasuli dijadikan sebagai pembimbing perjalanan agar perjalanan itu terjaga dari tipudaya setan.

Walhasil: Yang dimaksud tawasul ibarat “fasilitas” yang diberikan kepada seorang hamba yang sedang melaksanakan ibadah agar dengan ibadah tersebut dia sampai kepada yang dimaksud atau do’a-do’anya mendapatkan ijabah dari-Nya. Seseorang hamba akan mendapatkan ‘fasilitas ibadah” bilamana ibadah tersebut dilaksanakan dengan ikhlas serta bertawasul kepada guru-guru Mursyid secara berkesinambungan sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW.

Seorang penya’ir tua berpuisi:

H A T I
Ketika telah bertemu
Dan cinta sudah menyatu
Maka sekat dan hijab menjadi sirna
Jarak dan waktu tidak berguna

Bagaikan laut ketika telah terbelah
Dan jalan setapak sudah terbuka
Maka dua kekasih
Saling mencairkan cinta

(tamat- al-Fakir ilaa afwi Maulahu, Muhammad Luthfi Ghozali)

*) Bagi yang ingin mencicipi sajian dalam menu yang tertulis, bisa segera mendaftarkan diri untuk mengikuti progam mujahadah dan riyadho selama 40 hari yang insya Allah akan diselenggarakan mulai tanggal 24 Juni 2009 di Ponpes Assalafi Al-Fithrah Gunungpati Semarang. Dijamin halal dan Gratis.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar