Kamis, 17 Maret 2011


1. Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, di tahun 537 Hijrah, seorang lelaki dari kota Baghdad (dikatakan oleh sesetengah perawi bahawa lelaki itu bernama Abu Sa‘id ‘Abdullah ibn Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Baghdadi) datang bertemu asy-Syaikh Jilani, dan berkata, bahwa dia mempunyai seorang anak dara cantik berumur enam belas tahun bernama Fatimah. Anak daranya itu telah diculik (diterbangkan) dari atas anjung rumahnya oleh seorang jin.
Maka asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun menyuruh lelaki itu pergi pada malam hari itu, ke suatu tempat bekas rumah roboh, di satu kawasan lama di kota Baghdad bernama al-Karkh.

“Carilah bonggol yang kelima, dan duduklah di situ. Kemudian, gariskan satu bulatan sekelilingmu di atas tanah. Kala engkau membuat garisan, ucapkanlah “Bismillah, dan di atas niat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani ” Apabila malam telah gelap, engkau akan didatangi oleh beberapa kumpulan jin, dengan berbagai-bagai rupa dan bentuk. Janganlah engkau takut. Apabila waktu hampir terbit fajar, akan datang pula raja jin dengan segala angkatannya yang besar. Dia akan bertanya hajatmu. Katakan kepadanya yang aku telah menyuruh engkau datang bertemu dengannya. Kemudian ceritakanlah kepadanya tentang kejadian yang telah menimpa anak perempuanmu itu.”

Lelaki itu pun pergi ke tempat tersebut dan melaksanakan arahan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani itu. Beberapa saat kemudian datanglah jin-jin yang mencoba menakut-nakuti, tetapi jin-jin itu tidak kuasa melintasi garis bulatan itu. Jin-jin itu datang bergantian, kelompok demi kelompok. Dan akhirnya, datanglah raja jin yang sedang menunggang seekor kuda beserta satu angkatan yang besar dan hebat.

Raja jin itu memberhentikan kudanya di luar garis bulatan itu dan bertanya: “Wahai manusia, apakah hajatmu?” Lelaki itu menjawab, “Aku telah disuruh oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani untuk bertemu denganmu.”

Begitu mendengar nama asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani diucapkan, serta merta raja jin itu turun dari kudanya dan terus mencium bumi. Raja jin itu kemudian duduk di atas bumi, disertai dengan seluruh anggota rombongannya. Sesudah itu, raja jin itu telah bertanyakan masalah lelaki itu. Lelaki itu pun menceritakan kisah anak daranya yang diculik oleh seorang jin. Setelah mendengar cerita lelaki itu, raja jin itu pun memerintahkan agar dicari si jin yang bersalah itu. Beberapa waktu kemudian, dibawa ke hadapan raja jin itu, seorang jin lelaki dari negara Cina bersama-sama dengan anak dara manusia yang telah diculiknya.

Raja jin itu telah bertanya, “Kenapakah engkau sambar anak dara manusia ini? Tidakkah engkau tahu, dia ini berada di bawah naungan al-Quthb ?”
Jin lelaki dari negara Cina itu telah mengatakan yang dia telah jatuh berahi dengan anak dara manusia itu. Raja jin itu memerintahkan agar dipulangkan perawan itu kepada bapanya, dan jin dari negara Cina itu dikenakan hukuman pancung kepala.
Lelaki itu pun mengatakan rasa takjubnya dengan segala perbuatan raja jin itu, yang sangat patuh kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani.

Raja jin itu berkata pula, “Sudah tentu, karena asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani bisa melihat dari rumahnya semua kelakuan jin-jin yang jahat. Dan mereka semua sedang berada di sejauh-jauh tempat di atas bumi, karena telah lari dari sebab kehebatannya. Allah Ta’ala telah menjadikan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani bukan saja al-Qutb bagi umat manusia, bahkan juga ke atas seluruh bangsa jin.”

2. Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, istri-istri asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani bertemu dengannya dan berkata, “Wahai suami kami yang terhormat, anak lelaki kecil kita telah meninggal dunia. Namun kami tidak melihat setitik air mata pun yang mengalir dari mata kekanda dan tidak pula kekanda menunjukkan tanda kesedihan. Tidakkah kekanda menyimpan rasa belas kasihan terhadap anak lelaki kita, yang merupakan sebagian darah daging kekanda sendiri? Kami semua sedang dirundung kesedihan, namun kekanda masih juga meneruskan pekerjaan biasa kekanda, seolah-olah tiada sesuatu pun yang telah berlaku. Kekanda adalah pemimpin dan pelindung kami di dunia dan di akhirat. Tetapi jika hati kekanda telah menjadi keras sehingga tiada lagi menyimpan rasa belas kasihan, bagaimana kami dapat bergantung kepada kekanda di Hari Pembalasan kelak?”

Maka berkatalah asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani “Wahai isteri-isteriku yang tercinta! Janganlah kamu semua menyangka hatiku ini keras. Aku menyimpan rasa belas kasihan di hatiku terhadap seluruh makhluk, sampai terhadap orang-orang kafir dan juga terhadap anjing-anjing yang menggigitku. Aku berdoa kepada Allah agar anjing-anjing itu berhenti menggigit, bukan karena aku takut digigit, tetapi aku takut nanti manusia lain akan melontar anjing-anjing itu dengan batu. Tidakkah kamu mengetahui bahwa aku mewarisi sifat belas kasihan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang telah diutus Allah sebagai rahmat untuk sekelian alam?”

Maka wanita-wanita itu telah berkata pula, “Kalau benar kekanda mempunyai rasa belas kasihan terhadap seluruh makhluk Allah, sampai kepada anjing-anjing yang menggigit kekanda, kenapa kekanda tidak menunjukkan rasa sedih atas kehilangan anak lelaki kita yang telah meninggal ini?”

Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun menjawab, “Wahai isteri-isteriku yang sedang berdukacita, kamu semua menangis karena kamu semua merasa telah berpisah daripada anak lelaki kita yang kamu semua sayangi. Tetapi aku sentiasa bersama dengan orang-orang yang aku sayangi. Kamu semua telah melihat anak lelaki kita di dalam satu ilusi yang disebut dunia. Kini, dia telah meninggalkannya lalu berpindah ke satu tempat yang lain. Allah telah berfirman (Surat al-adid, ayat 20) “dan tiadaklah kehidupan dunia ini melainkan hanyalah satu ilusi saja.” Memang dunia ini adalah satu ilusi, untuk mereka yang sedang terlena. Tetapi aku tidak terlena – aku melihat dan waspada. Aku telah melihat anak lelaki kita sedang berada di dalam bulatan masa, dan kini dia telah keluar darinya. Namun aku masih dapat melihatnya. Dia kini berada di sisiku. Dia sedang bermain-main di sekelilingku, sebagaimana yang pernah dia lakukan pada masa dahulu. Sesungguhnya, jika seseorang itu dapat melihat Kebenaran melalui mata hatinya, sama dengan yang dilihatnya masih hidup ataupun sudah mati, maka Kebenaran itu tetap tidak akan hilang.”

3. Telah bercerita asy-Syaikh Abduh Hamad ibn Hammam:
Pada mulanya aku memang tidak suka kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Walaupun aku merupakan seorang saudagar yang paling kaya di kota Baghdad waktu itu, aku tidak pernah merasa tenteram ataupun berpuas hati.
Pada suatu hari, aku telah pergi menunaikan solat Jum’at. Ketika itu, aku tidak mempercayai tentang cerita-cerita karomah yang dikaitkan pada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Sesampainya aku di masjid itu, aku dapati beliau telah ramai dengan jamaah. Aku mencari tempat yang tidak terlalu ramai, dan kudapati betul-betul di hadapan mimbar.

Di kala itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani baru saja mulai untuk khutbah Jumaat. Ada beberapa perkara yang disentuh oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani yang telah menyinggung perasaanku. Tiba-tiba, aku terasa hendak buang air besar. Untuk keluar dari masjid itu memang sukar dan agak mustahil. Dan aku dihantui perasaan gelisah dan malu, takut-takut aku buang air besar di sana di depan orang banyak. Dan kemarahanku terhadap asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun bertambah dan memuncak.

Pada saat itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah turun dari atas mimbar itu dan telah berdiri di hadapanku. Sambil beliau terus memberikan khutbah, beliau telah menutup tubuhku dengan jubahnya. Tiba-tiba aku sedang berada di satu tempat yang lain, yakni di satu lembah hijau yang sangat indah. Aku lihat sebuah anak sungai sedang mengalir perlahan di situ dan keadaan sekelilingnya sunyi sepi, tanpa kehadiran seorang manusia.
Aku pergi membuang air besar. Setelah selesai, aku mengambil wudlu. Apabila aku sedang berniat untuk pergi bersolat, dan tiba-tiba diriku telah berada ditempat semula di bawah jubah asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Dia telah mengangkat jubahnya dan menaiki kembali tangga mimbar itu.
Aku sungguh-sungguh merasa terkejut. Bukan karena perutku sudah merasa lega, tetapi juga keadaan hatiku. Segala perasaan marah, ketidakpuasan hati, dan perasaan-perasaan jahat yang lain, semuanya telah hilang.

Selepas sembahyang Jum’at berakhir, aku pun pulang ke rumah. Di dalam perjalanan, aku menyadari bahwa kunci rumahku telah hilang. Dan aku kembali ke masjid untuk mencarinya. Begitu lama aku mencari, tetapi tidak aku temukan, terpaksa aku menyuruh tukang kunci untuk membuat kunci yang baru.

Pada keesokan harinya, aku telah meninggalkan Baghdad dengan rombonganku karena urusan perniagaan. Tiga hari kemudian, kami telah melewati satu lembah yang sangat indah. Seolah-olah ada satu kuasa ajaib yang telah menarikku untuk pergi ke sebuah anak sungai. Barulah aku teringat bahwa aku pernah pergi ke sana untuk buang air besar, beberapa hari sebelum itu. Aku mandi di anak sungai itu. Ketika aku sedang mengambil jubahku, aku telah temukan kembali kunciku, yang rupa-rupanya telah tertinggal dan telah tersangkut pada sebatang dahan di situ.
Setelah aku sampai di Baghdad, aku menemui asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani dan menjadi anak muridnya.

4. Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:
Pada suatu hari, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berjalan-jalan dengan beberapa muridnya di padang pasir. Waktu itu hari sangat panas, dan mereka sedang berpuasa. Oleh itu mereka merasa letih dan dahaga.
Tiba-tiba, sekumpulan awan muncul, yang melindungi mereka dari panas terik matahari. Setelah itu, sebatang pohon kurma dan sebuah kolam air muncul di hadapan mereka. Mereka telah terpesona. Kemudian satu cahaya besar yang berkilauan, telah muncul dari celah awan di hadapan mereka dan kedengaranlah satu suara dari dalamnya yang telah berkata, “Wahai ‘Abdul Qadir, akulah Tuhanmu. Makan dan minumlah, karena pada hari ini, telah aku halalkan untuk engkau apa yang telah aku haramkan untuk orang-orang lain.”

Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun melihat ke arah cahaya itu dan berkata, “Aku berlindung dengan Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Tiba-tiba, cahaya, pohon kurma dan kolam itu semuanya hilang dari pandangan mata. Maka kelihatanlah Iblis di hadapan mereka dengan bentuk rupanya yang asli.
Iblis bertanya, “Bagaimanakah engkau dapat mengetahui itu sebenarnya adalah aku?”
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah menjawab, “Syariat itu sudah sempurna, dan tidak akan berubah sampai Hari Kiamat. Allah tidak akan mengubah yang haram kepada yang halal, walaupun untuk orang-orang yang menjadi pilihanNya (waliNya).”

Maka Iblis pun berkata lagi untuk menguji asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani “Aku telah mampu menipu 70 kaum daripada golongan as-salikin (yakni orang-orang yang menempuh jalan kerohanian) dengan cara ini. Ilmu yang engkau miliki lebih luas daripada ilmu mereka. Apakah hanya ini jumlah pengikutmu? Sudah sepatutnya semua penduduk bumi ini menjadi pengikutmu, karena ilmumu menyamai ilmu para nabi.”

Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani menjawab, “Aku berlindung dengan Allah Yang Maha Mendengar, Yang Maha Mengetahui, daripada engkau. Bukanlah karena ilmuku aku terselamat, tetapi karena rahmat daripada Allah, Pengatur sekelian alam.” (Malfiali, Maret 2009. Diambil dari beberapa sumber.

Sabtu, 12 Juni 2010

ISTIGHOTSAH DAN DO'A


























SELAMAT JALAN MATAHARIKU

Oleh: Al_Faqier Muhammad Luthfi Ghozali

Sang matahari dari timur telah kembali ke peraduannya
Meninggalkan hati-hati terlena
Menggugah perasaan terlelap dalam tidur panjang
Pergi menghadap Sang Paduka
Dengan ridho akan ridho-Nya
Menjemput yang sudah disiapkan disana
Meski semua mengatakan belum saatnya
Namun inilah kenyataan
Maka yang semua itu harus siap menerima
Karena tahapan tugas rupanya sudah paripurna

Disini, dalam bumi yang gersang ini
Seakan engkau tidak peduli kepada yang ada
Padahal kami belum banyak menduga
Kemana tinggalan ini harus dilanjutkan
Hamparan sawah yang butuh perawatan
Gedung-gedung megah yang terasa ikut berduka
Seperti hati kami yang seakan putus asa

Kami melolong, menangis bagai itik ditinggal induk semang
Kehilangan padahal dulu kurang memanfaatkan kemudahan
Namun engkau tanpa menoleh berjalan melenggang
Dijemput teman-temanmu yang sudah lama merindukan
Berjalan seiring meninggalkan batas perpisahan
Bersama-sama menggapai apa yang sudah dijanjikan
Karena dulu perjalanan telah ditempuh dengan penuh persiapan

Barangsiapa mendekat dalam lahir
Maka yang dituju itu kini telah sirna
Barangsiapa memandang dengan syahwat
Maka yang dinikmati itu kini hilang entah kemana
Barangsiapa terlena dalam gendongan
Maka selendang itu kini akan jadi rebutan
Barangsiap bernaung dalam keteduhan
Maka pohon rindang itu antah pergi kemana
Hati terkaget meski tidak berdaya
Pikiran menerawang jauh karena hidup menjadi tidak bermakna

Adapun yang mendekat kepada ilmu dan akhlak mulia
Kharismah ruhaniah yang memancar abadi sepanjang masa
Amaliyah yang tergurat kuat dalam lembar kain sutra
Disulam dalam permadani dengan permata dan mutiara
Digurat dalam mushab dan kitab yang terjaga
Meski kini nafasnya tidak lagi memancar dari sumbernya
Namun kapan saja akan terpancarkan dalam setiap ronga dada
Asal tapak tilas itu diikuti dengan hati selamat dan terjaga
Bersih dari penyakit-penyakit manusiawi yang dapat mengotori matahati dan jiwa

Selamat jalan sang matahari zaman
Dengan segala kebahagiaan yang engkau dapatkan
Meski meningalkan duka-duka mendalam
Disini, di tanah-tanah yang engkau bajak selama ini
Semoga bibit yang engkau tanam
Tumbuh menjadi pohon rindang dan berbuah
Dalam setiap hamparan isi dada
Anak-anak asuh yang seakan baru terjaga
Terlena dari mimpi-mimpi panjang yang melalaikan
Padahal kami masih butuh air yang selama ini engkau kucurkan
Kehidupan yang telah membangkitkan kehidupan



BERKOMUNIKASI DENGAN ORANG MATI
Oleh: Muhammad Luthfi Ghozali

Bismillahi Allahu Akbar, Wassholaatu was Salamu alal Mukhtar, wa ala Alihi wa AssHababihi wa Muhibbihil akhyar, amma ba’du. Mohon izin saya mau menulis, orang boleh membaca boleh tidak, boleh percaya boleh tidak, boleh senang boleh marah, boleh memuji boleh mencela, tatapi yang terpenting jangan ada yang percaya sebelum mencoba. Ketika orang menyangka “mati” merupakan batas antara dua alam, alam kehidupan (alam hayat) dengan alam kematian (alam maut). Yang satu hidup di dunia dan satunya mati dan kembali menjadi tanah, sehingga hubungan dua alam itu terputus untuk selamanya. Orang hidup dan orang mati tidak bisa saling memberi kemanfaatan. Keduanya tidak bisa saling berucap salam, sehingga sholawat dan salam kepada baginda Nabi SAW berarti sia-sia, mendo’akan orang mati yang bukan orang tuanya berarti batal, tawasul dan ziarah kubur dianggap syirik, mengidolakan orang mati berarti kultus individu, maka barangkali seperti itulah pemahaman orang yang hatinya ingkar akan hari akhirat dalam pertanyaan yang mereka lontarkan kepada Tuhan. Allah mengabadikan pertanyaan itu dengan firmanNya: وَقَالُوا أَئِذَا ضَلَلْنَا فِي الْأَرْضِ أَئِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ بَلْ هُمْ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ كَافِرُونَ “Dan mereka berkata: "Apakah bila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?”. Bahkan (sebenarnya) mereka ingkar akan menemui Tuhannya”. (QS. as-Sajadah: 32/10) Sebagian teman mengira, setelah orang mati, berarti tidak ada lagi hubungan dengan orang hidup,… selesai dan orang mati itu tidak boleh dido’akan kecuali oleh anaknya sendiri yang sholeh. Sedangkan bagi orang lain, sejak itu tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk temannya yang sudah mati, sehingga kematian itu dianggap sebagai batas kemanfaatan hidup. Orang tersebut memahami keyakinan hatinya dari sebuah Hadits Nabi SAW yang sangat masyhur yang artinya: “Apabila anak Adam mati maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal, yaitu shodaqoh jariyah atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang sholeh yang mendo’akan kepadanya”. Barangkali karena mengartikan hadits ini didasari keyakinan yang berlebihan, maka mereka menjadi terjebak kepada pemahaman yang salah. Di dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW mengatakan “terputus amalnya” (In qotho’a ‘amaluhu) bukan “terputus kemanfaatannya” (In qotho’a Naf’uhu). Kalau seandainya Nabi SAW mengatakan terputus kemanfaatan, maka benar adanya, bahwa orang mati tidak ada hubungan lagi dengan orang hidup, sehingga apapun yang dikerjakan oleh orang hidup untuk orang mati tidak sampai. Rasul SAW mengatakan “terputus amalnya”, yang artinya bahwa anak Adam yang sudah mati terputus amalnya. Sejak itu mereka sudah tidak dapat beribadah lagi, mereka tidak dapat mencari pahala (makanan untuk ruhnya) sebagaimana saat mereka masih hidup di dunia. Jika orang mau mencermati makna yang terkandung dalam hadits tersebut dengan hati yang selamat, sesungguhnya hikmahnya sebagai berikut; Dengan hadits itu justru Nabi menganjurkan supaya orang hidup mau mendo’akan orang mati, karena sejak jasadnya di kubur, temannya itu tidak dapat lagi mengusahakan pahala untuk dirinya sendiri, kecuali kiriman dari tiga hal tersebut. Itu pun, manakala orang mati itu memiliki ketiganya. Apabila tidak, maka hanya do’a-do’a dari temannya yang masih hidup itulah yang sangat mereka butuhkan untuk menghibur kesepiannya di alam kubur. Allah memerintahkan agar orang mendo’akan orang lain: وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. at-Taubah: 9/103) Ayat di atas menyatakan bahwa mendo’akan orang lain, baik kepada orang hidup maupun orang mati pasti sampai, yakni berupa ketenangan batin bagi orang yang dido’akan. Bahkan (sudah dimaklumi) termasuk syarat syahnya shalat Jum’at, khotib diwajibkan memohonkan ampun kepada saudara-saudara seiman, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Bahkan pahala orang mati masih dapat berkurang dan bertambah, berkurang karena perbuatan jeleknya diikuti orang lain dan bertambah karena tapak tilas perbuatan baiknya diikuti oleh penerusnya serta do’a yang dipanjatkan orang lain. Bahkan dosa dan pahala itu tidak berhenti bertambah dan berkurang kecuali saat hari kiamat sudah datang. Allah menyatakan hal itu dengan firman-Nya: كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ “Tiap-tiap jiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”. (QS. Ali Imran: 3/185) * Anda jangan sekali-kali mencoba mati untuk sekedar membuktikan kebenaran isi tulisan ini, karena yang pasti Anda tidak akan kembali lagi di dunia. Manusia menjalani kehidupan dalam tiga zaman, pertama di ALAM RUH, kedua di ALAM DUNIA dan ketiga ketiga di ALAM AKHIRAT. Di dalam ALAM DUNIA manusia mengalami tiga tahapan kehidupan. Pertama di alam rahim, kedua di alam kehidupan dunia, ketiga di alam barzah. Di ALAM AKHIRAT manusia juga akan mengalami beberapa tahapan kehidupan di antaranya alam mahsyar, alam hisab, alam mizan dan kemudian melintasi shirothol mustaqim baru masuk alam akhirat. Jadi, alam kehidupan dunia dan alam barzah sesungguhnya berada dalam dimensi zaman yang sama namun dalam dimensi ruang yang berbeda. Manusia Karakter dan Manusia Personal Manusia adalah makhluk lahir batin. Makhluk lahir disebut “manusia sebagai personal”, makhluk batin disebut “manusia sebagai karakter”. “Manusia sebagai personal”, diciptakan dari debu, masa hidupnya sangat terbatas. Kehidupan tersebut hanya sebatas usia hidupnya di dunia. Ketika ajal kematian tiba, maka mati itu sedikitpun tidak dapat dimajukan atau dimundurkan. Setelah matinya “manusia sebagai personal” akan kembali menjadi tanah. Adapun “manusia sebagai karakter” akan hidup untuk selama-lamanya. Sejak dikeluarkan dari sulbi Nabi Adam as. di alam ruh kemudian dilahirkan oleh ibunya di dunia, selanjutnya akan dibentuk oleh lingkungannya menjadi orang mulia atau orang hina. Sejak hidupnya di alam ruh itu “manusia sebagai karakter” akan hidup untuk selamanya, baik di dunia, di alam barzah kemudian di alam akherat. Semasa hidupnya di dunia, manusia sendiri yang harus merubah karakternya, dengan ilmu dan amal, membentuk karakter itu supaya menjadi karakter yang mulia. Sebagai ash-shiddiq, asy-Syuhada’ atau ash-Sholihin sebagaimana yang telah digambarkan Allah dengan firman-Nya; "Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi kenikmatan dari Allah, yaitu para Nabi, Shiddiqin, para Syuhada' dan para Sholihin. Dan mereka itulah teman yang baik ".(QS. 4; Ayat 69). Sebutan-sebutan tersebut merupakan gambaran karakter manusia sekaligus menujukkan tingkat derajat seorang hamba disisi Allah Ta'ala. Ketika ajal kematian di dunia tiba, manusia batin itu akan dihidupkan lagi, sejak di alam barzah sampai di akherat nanti. Manakala ia mati sebagai seorang Syuhada’ atau mati syahid, maka di alam barzah akan hidup merdeka di kebun-kebun surga dengan mendapatkan rizki dari Tuhannya dan di alam akherat dimasukkan ke surga bahagia untuk selama-lamanya. Kalau ia mati sebagai orang kafir, maka kehidupan selanjutnya akan tertahan di penjara untuk selama-lamanya, baik sejak di alam barzah maupun di akherat nantinya. Yang dimaksud bermonunikasi dengan orang mati adalah melaksanakan “Interaksi Ruhaniah” antara orang hidup dengan orang mati, yakni; “manusia sebagai personal” berkomunikasi dengan “manusia sebagai karakter” di dalam perasaan ruhaniah, bukan di dalam bayangan hayaliyah. Atau dengan istilah lain; Hubungan timbal-balik atau interkoneksi antara al-Mu’minun dengan ash-shiddiq, asy-Syuhada dan ash-Sholihin. Hubungan dua alam yang berbeda itu bisa dilaksanakan, karena ruh orang hidup (manusia sebagai karakter) memang berpotensi bertemu dan berkomunikasi secara ruhaniah dengan ruh orang lain (manusia sebagai karakter), baik dengan sesama orang hidup (di alam mimpi maupun di alam jaga) maupun dengan ruh orang mati (di alam barzah). Allah menyatakan hal itu dengan firmanNya: اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan memegang jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya, maka Dia tahanlah jiwa yang Dia telah tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”. (QS.az-Zumar: 39/42) Firman Allah:الله يتوفى الأنفس Allahu Yatawaffal Anfusa, (Allah memegang jiwa-jiwa) artinya; Allah mengumpulkan jiwa-jiwa manusia di dalam satu kondisi, jiwa orang mati dan jiwa orang tidur. Jiwa-jiwa tersebut dimasukkan dalam dimensi yang sama, lalu Allah menahan jiwa orang mati dan melepaskan kembali jiwa orang hidup sampai batas usia yang sudah ditentukan di dunia. Di saat jiwa orang tidur dan jiwa orang mati itu dikumpulkan dalam satu dimensi, hal tersebut merupakan kesempatan di mana kedua jiwa yang datangnya dari dimensi yang berbeda itu dapat berkomunikasi. Baik sebagai mimpi di saat manusia sedang tidur maupun dikondisikan seperti memasuki dimensi alam mimpi di saat manusia melaksanakan ‘meditasi Islami’ atau mujahadah dan riyadhah di jalan Allah. Konkritnya, ketika aktifitas jasmani sedang lemah karena orang sedang tidur, maka secara otomatis aktifitas Ruh menjadi kuat, lalu terjadilah pengembaraan ruhaniah. Dengan izin Allah jiwa orang tidur tersebut menembus batas ruang pembatas (hijab). Jiwa itu menembus pembatas dua samudera: “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu - antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing”. (QS: 55; 19-20), yakni menembus pembatas alam malakut. Di alam malakut itulah jiwa orang tidur dipertemukan dengan ruh orang mati. Selanjutnya terjadilah apa yang dapat terjadi sesuai kehendak Allah. Kejadian tersebut terekam di alam jasmani dan ketika manusia bangun dari tidurnya, rekaman tersebut dibaca oleh akal. Peristiwa yang dibaca akal itulah yang disebut mimpi, hanya saja mimpi seperti ini masih membutuhkan penta'wilan dari ahlinya. Bagi orang yang ruhaniahnya telah dihidupkan pada derajat tertentu, sebagai buah mujahadah dan riyadhah yang dijalani, ketika pengembaraan ruhaniah itu telah melewati batas yang telah ditentukan, maka dengan izin Allah seorang hamba akan dibukakan hijab-hijabnya, sehingga dengan matahati (bashiroh) nya dia dapat melihat atau merasakan secara langsung kejadian yang terjadi di alam ruhaniah tersebut. Manakala pengkondisian ini dilakukan melalui pelaksanaan tawasul kepada guru ruhaniah yang sudah wafat, kemudian terjadi arus balik antara dua dzikir yang berbeda, yang satu menyampaikan munajat dan satunya penyampaian syafa’at, maka demikian itulah yang dimaksud dengan hakekat “Interaksi Ruhaniah”, atau berkomunikasi dengan orang mati. Seperti orang mengirim email misalnya, dari situs yang satu kepada situs yang lain, manakala hal tersebut mampu mentranfer ilmu pengetahuan kepada orang yang dikirimi, maka hal tersebut bisa dikatakan sebagai berkomunikasi. Jadi, yang dimaksud berkomunikasi dengan orang mati itu tidak selalu dengan suara atau kata-kata yang bisa didengar telinga atau dengan penampakan yang dapat dirasakan penglihatan dalam mimpi, melainkan juga dengan saling mengirim rasa yang dimuati data, sehingga orang yang asalnya tidak faham menjadi faham, tidak mengerti menjadi mengerti. Hati yang asalnya susah menjadi gembira, dada yang asalnya sempit jadi lapang. Semua itu bisa terjadi, tentunya karena ada interaksi, padahal adanya interaksi, karena terkondisi dengan resonansi. Yang pasti, orang-orang yang gugur di jalan Allah, baik di medan perang maupun di atas ranjang, mereka itu dapat melihat kita, namun sayangnya kebanyakan kita tidak dapat merasakan keberadaan mereka: وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak merasakan (kehidupan mereka)”.(QS.al-Baqoroh/15
4)

*) Jika Anda ingin mencoba membuktikan kebenaran teori ini, silahkan….!! Pekerjaan ini tidak terlampau berbahaya, asal prakteknya mendapat bimbingan orang yang berpengalaman. Dengan sedikit modal keberanian, seorang SARKUB sejati dapat membimbing Anda. Jangan sekali-kali Anda mencoba mempraktekkannya sendiri, karena resiko yang paling ringan saja, bisa-bisa untuk sementara waktu Anda harus menjadi penghuni RSJ.

Menembus Pembatas Dua Samudera 1

Ibnu Abbas RA di dalam menafsirkan ayat di atas (QS. az-Zumar/39; 42) berkata:

قَال: بَلَغَنِى أَنَّ أََرْوَاحَ الأَحْيَآءِ وَالأَمْوَاتِ تَلْتَقَى فِى الْمَنَامِ فَيَتَسَاءَلُوْنَ بَيْنَهُمْ, فَيُمْسِكُ اللهُ أَرْوَاحَ الْمَوْتىَ وَيُرْسِلُ أَرْوَاحَ الأَحْيَآءِ إِلَى أَجْسَادِهَا .
“Telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya ruh orang hidup dapat bertemu dan berkomunikasi dengan ruh orang yang sudah mati di dalam mimpinya, kemudian ruh orang mati ditahan oleh Allah, sedang ruh orang yang sedang tidur dilepaskan kembali kepada jasadnya”. (Ibnul Qoyim, “Kitab ar-Ruh”; 19)

Ibnu Abi Khaitam RA berkata di dalam penafsirannya atas firman Allah: "Wallaatii Lam Tamut fii Manaamihaa” (dan ruh yang belum mati di dalam tidurnya). berkata: "Allah memegang ruh orang yang mati dalam tidurnya, maka ruh orang yang hidup bertemu dengan ruh orang yang telah mati, mereka saling berkomunikasi dan saling mengenal. Kemudian ruh orang hidup dikembalikan ke jasadnya di dunia untuk meneruskan sisa hidupnya yang sudah ditentukan dan ruh orang yang sudah mati dikembalikan kepada jasadnya yang di tanah”. (Ibnul Qoyim, Kitab ar-Ruh: 19)

Alam jasmani dan alam ruhani ibarat dua samudra yang dibatasi daratan sehingga keduanya tidak dapat bertemu, akan tetapi dengan kehendak Allah suatu saat dibiarkan bertemu, seperti alam mimpi dan alam jaga. Sesungguhnya alam mimpi itu bagian dari alam barzah. Terbukti, seandainya orang yang bermimpi itu tersesat jalan di alam mimpinya hingga tidak dapat kembali ke alam jaga, maka bisa dibayangkan apa yang dilakukan oleh orang lain terhadap jasad yang telah ditinggalkan kehidupan tersebut, tentunya segera diantar ke liang lahat. Allah menyatakan dua alam itu dengan firman-Nya:

مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ (19) بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَا يَبْغِيَانِ
“Dia (Allah) membiarkan dua lautan mengalir yang kemudian saling bertemu-Antara keduanya ada batas yang tidak dapat dilampaui”. (QS. ar-Rahman/55; 19-20)

Dimensi jasmani disebut Basyariah, sedangkan dimensi ruhani disebut Nubuwah atau Risalah bagi seorang Nabi/Rasul, dan disebut Walayah (bagi orang beriman yang sholeh)”. Allah SWT berfirman:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
“Katakan bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa”. (QS. Fushilat:/41; 6)

Yang dimaksud basyariah adalah ‘Ruh kehidupan’ yang menghidupi ‘jasad kasar’ manusia, baik yang terbit dari kemauan (irodah) maupun kemampuan (qudroh). Basyariyah ini mencakup segala aspek kecerdasan manusia termasuk juga intelektual, spiritual dan emosional. Adapun yang dimaksud Nubuwah atau “walayah” adalah apa yang dimaksud dengan ayat di atas; يُوحَى إِلَيَّ Yuuhaa ilaiyya (diwahyukan kepadaku). Yaitu berupa wahyu atau ilham atau inspirasi yang masuk di dalam hati orang beriman yang datangnya dari urusan ketuhanan. Dengan walayah itu supaya manusia terbimbing mengikuti hidayah Allah sehingga jalan hidupnya berjalan mengikuti ‘ketetapan Allah’ sejak zaman azali. Rasulullah SAW menyatakan hal itu dengan sabdanya: "Allah mendidikku dan Allah memperbaiki pendidikan-Nya kepadaku” (atau dengan kalimat yang searti). Sebagaimana juga yang dinyatakan Allah melalui firman-Nya:

إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ
“Sesungguhnya Waliku ialah Allah yang telah menurunkan al-Kitab (al-Qur'an) dan Dia memberikan Walayah kepada orang-orang yang sholeh”. (QS.al-A’raaf: 7/196)

Dengan walayah berarti manusia mendapat dua ‘ruh kehidupan’, pertama dari seluruh aspek kecerdasannya sendiri dan kedua yang datang dari rahasia tarbiyah (pemeliharaan) Allah. Dengan walayah berarti manusia mendapatkan tingkat derajat atau Maqom di sisi Allah, meskipun maqom itu secara lahir merupakan buah ibadah dan perjuangan. Dengan maqom itu seorang hamba berpotensi mendapatkan fasilitas (syafa’at), baik secara ilmiah maupun amaliah yang hakekatnya merupakan sistem tarbiyah rahasia yang isinya berupa penjagaan, pertolongan dan pemeliharaan yang sumber asalnya datang dari warisan para Nabi dan para Rasul. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

العلمآء ورثة الأنبيآء
"Ulama' adalah pewaris para Nabi”.
Untuk menghidupkan kehendak walayah, manusia terlebih dahulu harus mampu meredam kehidupan basyariyah, yang demikian itu dilakukan dengan tujuan semata-mata menggapai ridlo Allah. Itulah hakekat mujahadah di jalan Allah atau dengan istilah lain disebut “meditasi Islami”.

Ketika dengan mujahadah dan riyadhah yang dilakukan, seorang salik berhasil menghidupkan kehendak wilayah-walaupun sedetik atau lebih singkat dari itu, maka berarti saat itu memasuki suatu kondisi seperti “alam orang mati” atau “alam orang tidur”. Sebagaimana yang dimaksud dengan ayat di atas: “Allahu Yatawaffal an-fusa Hiina Mautihaa” (QS. 39: Ayat 42), itulah yang dimaksud "mati dalam hidup". Dalam keadaan seperti itu, orang tersebut berpeluang memasuki suatu potensi terjadinya interaksi ruhaniah, baik terhadap orang hidup maupun orang mati, namun itu manakala mujahadah dan riyadhoh tersebut sejak awal sudah dikondisikan dengan pelaksanaan tawasul secara ruhaniah kepada guru-guru ruhaniah baik yang hidup maupun yang sudah meninggal dunia.

Menembus Pembatas Dua Samudera 2

Ketika proses pelaksanaan dzikrulah dilakukan oleh seorang salik dengan benar sehingga mampu melewati titik kulminasi antara dua alam, maka akan membuahkan suatu proses pemahaman hati yang disebut Fikir, lalu buah Fikir itu disebut Ibroh (kesimpulan). Yang dimaksud dengan Dzikir, Fikir dan Ibroh adalah tingkat pencapaian (maqamaat) yang harus dicapai oleh seorang hamba dalam rangka melaksanakan mujahadah dan riyadhoh di jalan Allah:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(QS.Ali Imran/191)

Setiap terjadi perpindahan dari satu tingkat kepada tingkat yang lain, dengan izin Allah seorang salik memasuki titik klimaks perjalanan ruhani, itulah batas alam lahir dan alam batin yang ada dalam jiwa manusia. Meskipun titik klimaks itu dialami hanya dalam waktu sangat singkat, yang keadaannya seperti antara sadar dan tidak sadar padahal sadar, saat-saat seperti itu merupakan kondisi yang sangat ditunggu-tunggu oleh para salik. Karena setelah masa klimaks itu terlampaui dan kesadaran berangsur-angsur kembali sempurna, segala sesuatu yang datangnya dari ‘urusan ketuhanan’ dapat terjadi diluar dugaan. Ketika pengosongan terkondisi dengan sempurna maka yang masuk setelah itu diharapkan datangnya dari urusan ketuhanan.

Dalam keadaan seperti itu, seorang salik dapat merasakan kenikmatan ruhani yang luar biasa yang tidak dapat digambarkan oleh suatu katapun. Kenikmatan ruhaniyah tersebut akan membekas seumur hidup. Demikian itu karena hati sang pengembara telah mendapatkan “Futuh” (terbukannya matahati) dari Tuhannya. Hati yang rindu telah menemukan ‘buah ibadah’ yang dipetik di dunia yang selanjutkan mampu dijadikan landasan untuk melanjutkan perjalanan. Dengan pengalaman spiritual itu, menjadikan mereka tidak lagi mudah tergoda oleh tipu daya setan yang selalu menghadang jalan ibadah.

Seperti itulah proses masuknya ‘ilmu rasa’. Pemahaman hati yang mampu menancapkan kenikmatan azaliah yang diturunkan di dunia fana yang terkadang menjadikan hati seorang hamba ‘mabuk cinta’ sehingga mendorongnya berbuat lebih mengutamakan urusan akherat daripada urusan dunia. Pengalaman spiritual yang mampu menjadikan hati seorang hamba yakin terhadap Allah, rasul-Nya dan hari akherat. Ilmu batin yang menjadikan manusia mampu menindaklanjuti dan mengaplikasikan seluruh potensi kecerdasan secara lahir yang sudah dimiliki. Ilmu yang menjadikan manusia pandai berbuat untuk menata diri sendiri bukan hanya pandai berbicara untuk menata urusan orang lain. Keadaan yang dipaparkan di atas digambarkan Allah dengan beberapa ayat di bawah ini. Allah berfirman-Nya:

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ - وَمَا أَمْرُنَا إِلَّا وَاحِدَةٌ كَلَمْحٍ بِالْبَصَرِ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran * Dan urusan Kami hanyalah satu, bagai satu kedipan mata”. (QS. al-Qomar/54; 49-50)

Di dalam al-Qur`an Surat yang lain Allah telah menggambarkannya dengan lebih terperinci sebagaimana firman-Nya:

إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى (16) مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى (17) لَقَدْ رَأَى مِنْ آَيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
“Ketika Sidroh diliputi oleh yang meliputi - Penglihatan tidak berpaling dan tidak melampaui - Sesungguhnya dia telah melihat sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Tuhannya yang paling besar”. (QS. an-Najm/53; 16-18)

Lafad as-Sidroh dalam ayat di atas, menurut pendapat sebagian Ulama' ahli tafsir, ialah asy-Syajaroh, yang berarti pohon. Yaitu pohon yang tumbuh di dalam hati sanubari seorang hamba. Sebagaimana termaktub dalam QS. Ibrahim; 24.

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan, Kalimat yang baik seperti Pohon yang baik.....". (QS. Ibrahim; 14/24)

Adapun secara khusus yang dimaksud lafad “Sidroh” adalah Sidrotul Muntaha. Sebagaimana firman Allah:

عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهى
“Di Sidrotil muntaha”. (QS. 53; 14)

Sidrotulmuntaha adalah maqaamat (terminal) terakhir yang mampu dicapai indera (alat perasa) makhluk meskipun harus dengan bimbingan Wahyu. Artinya; setelah seorang hamba mampu melewati terminal tersebut, berarti ia akan memasuki dimensi yang berbeda. Yakni dimensi alam ruhaniah, di mana seorang hamba berpotensi berinteraksi dengan ruhani para guru-guru ruhaniah yang sudah wafat. Seperti orang berhasil membuka situs di alam mayapada (internet), kemudian ia melihat data, ketika ia berhasil men-download apa-apa yang dilihatnya ke dalam file yang ada di dalam hard disk computernya, maka proses perpindahan data dari situs ke dalam file tersebut adalah gambaran proses masuknya “Ilmu Laduni” dalam hati seorang murid yang dihasilkan melalui proses interaksi antara seorang murid dengan guru mursyidnya yang sudah mati atau disebut BERKOMUNIKASI DENGAN ORANG MATI.

Hal tersebut bisa terjadi, bukan karena ruh orang mati hadir kembali di dunia, namun dengan izin Allah ruhani orang yang masih hidup berpotensi menembus dimensi alam barzah serta dapat memindahkan apa-apa yang disimpan di sana. Yang dipindahkan itu adalah atsar (tapak tilas ibadah) yang sudah dilakukan oleh para pendahulunya. Atsar tersebut, walaupun pemiliknya sudah meninggal dunia akan tetap terjaga sampai hari kiamat di Lauh Mahfudz, sebagai sebuah diary yang nantinya dapat dibaca kembali oleh pemiliknya. Bagaikan situs yang bertebaran di mayapada, maka seorang hamba yang mampu mengakses dengan pelaksanaan tawasul kepada pemiliknya dapat memanfaatkan data maupun fasilitas yang tersimpan di dalamnya. Allah mengisyaratkan hal itu dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfudh)”. (QS. Yaasin; 12)

Jadi, salah satu buah yang bisa dipetik dari hasil sebuah proses interaksi ruhaniah antara murid dan gurunya adalah ‘ilmu laduni’ yang diwariskan oleh pemilik sebelumnya yaitu guru Mursyid yang ditawasuli, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Buah yang dipetik itu adalah bentuk transfer pemahaman hati, bukan ilmu pengetahuan secara aqliah dan juga bukan penampakan secara hayaliah. Inilah buah thoriqoh yang paling utama, maka jadilah kadang-kadang ilmu yang dimiliki para murid sama jenis dan sifat dengan ilmu yang dimiliki guru Mursyidnya.

Manakala buah yang didapatkan dari interaksi antara dua dimensi yang berbeda itu berupa penampakan-penampakan dalam bentuk gambar yang masih mengandung keraguan dalam hati, maka yang demikian itu bukan merupakan buah interaksi ruhaniah yang dicari. Akan tetapi hasil rekayasa sihir yang dimunculkan oleh setan jin di dalam hayal manusia yang tujuannya untuk menyesatkan perjalanan ibadah. Hal itu bisa terjadi, karena pelaksanaan tawasul tidak terbimbing oleh guru ahlinya. Akibat dari itu, orang tersebut hanya pandai berbicara tetapi tidak dapat mengetrapkan ilmunya dalam perilaku hidupnya sendiri. Allah memberikan gambaran orang tersebut dengan firman-Nya yang artinya: "Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata".(QS.al-Hajj/11)
Ilmu Mukasyafah

Ilmu yang paparkan di atas adalah bagian dari “Ilmu Mukasyafah” yakni ilmu yang mempelajari seluk beluk hati. Apabila kinerja hati tumpul, berarti hatinya bodoh sehingga membutuhkan belajar, apabila kinerja hati tidak terarah berarti hatinya buta sehingga membutuhkan obat dan terapi. Di situlah ilmu mukasyafah menempatkan diri, merupakan pemahaman dalam ‘rasa’ (hati) bukan di dalam rasio(akal). Ilmu pengetahuan yang sangat luas dan bahkan tidak terbatas, bagaikan samudera yang tidak bertepi. Karena luasnya ilmu ini, maka di dalamnya terdapat banyak hal yang tidak sanggup ditampilkan dengan bahasa tulisan kecuali dengan perumpamaan atau i'tibar.

Sebagaimana dimaklumi, untuk memindahkan pengetahuan dari orang satu kepada orang yang lain membutuhkan alat, dan alat tersebut adalah bahasa. Sedangkan bahasa juga membutuhkan uraian dan penjelasan serta bukti-bukti dan dalil-dalil. Namun bagaimana halnya terhadap suatu tontonan misalnya—yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga dan belum pernah terlintas dalam benak siapapun. Bagaimana cara untuk menerangkan dan menguraikannya? Maka tidak ada cara lain kecuali dengan i'tibar. Al-Qur'an banyak mencontohkan perihal tersebut, bahkan Allah telah memerintah hamba-Nya untuk beri'tibar dengan firman-Nya:

فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
“Beri'tibarlah hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS.al-Hasyr; 59/2)

Manusia hanya mampu beri'tibar dengan mengutip dalil-dalil naqliyah saja, baik dari al-Qur'an maupun al-Hadits tanpa mampu bertanya bagaimana atau berusaha minta penjelasan lagi kepada siapapun secara aqliyah. Ketika seorang hamba membaca isyaroh dari Allah tentang hal yang ghaib melalui tamsil, maka mereka hanya mampu menampilkan tamsil itu dengan apa adanya. Allah dalam hal ini hanya memberikan tamsil kepada hamba-Nya, agar mereka dapat memahami dan membayangkan terhadap sesuatu yang ditamsilkan itu sekedarnya sesuai kesanggupan imajinasi yang terbatas.

Namun dalam kaitan ilmu mukasyafah ini yang terpenting ialah: “Dengan melaksanakan mujahadah dan riyadhah melalui seluruh ‘amalan lahir’, seperti shalat, puasa, zakat dan lain sebagainya, bagaimana seorang hamba berhasil mendapatkan futuh atau terbukanya matahati sehingga dapat mengetahui sesuatu yang semestinya samar bagi orang lain, dengan pengetahuan itu hatinya menjadi semakin bertakwa kepada Tuhannya, itulah yang disebut ‘amalan batin’. Adapun amalan batin yang derajatnya paling tinggi adalah Ma'rifatullah atau mengenal Allah. Jadi, ilmu mukasyafah itu bukan ilmu yang didapat dari membaca tulisan atau mendengar ucapan tetapi dihasilkan dari buah mujahadah dan riyadhoh di jalan Allah.

Oleh karena ilmu mukasyafah adalah buah ilmu dan amal, maka cara mendapatkannya hanya dengan jalan beribadah kepada Allah. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami” (QS.alAnkabut (29)69). Dengan hidayah yang telah dijanjikan tersebut, seorang hamba akan mendapatkan apa yang diharapkan dalam pelaksanaan ibadah yang dijalani atau thariqah. Buah toriqoh itu berupa cinta dan ma’rifat kepada Tuhannya yang menghantarkan mereka kepada keridlaan-Nya baik di dunia maupun di akherat nanti.

Hal tersebut seperti yang tersirat dalam munajat yang dipanjatkan oleh para salik pada setiap kali mereka melaksanakan wirid yang diistiqamahkan: “Wahai Tuhan kami, hanya Engkau tujuan kami dan ridla-Mu yang kami cari, maka berilah kami Ma’rifat dan cinta kepada-Mu”. Artinya; Ma’rifat dan Cinta itu akan menjadi landasan amal ibadah untuk menggapai ridla Allah, sedangkan guru mursyid yang ditawasuli dijadikan sebagai pembimbing perjalanan agar perjalanan itu terjaga dari tipudaya setan.

Walhasil: Yang dimaksud tawasul ibarat “fasilitas” yang diberikan kepada seorang hamba yang sedang melaksanakan ibadah agar dengan ibadah tersebut dia sampai kepada yang dimaksud atau do’a-do’anya mendapatkan ijabah dari-Nya. Seseorang hamba akan mendapatkan ‘fasilitas ibadah” bilamana ibadah tersebut dilaksanakan dengan ikhlas serta bertawasul kepada guru-guru Mursyid secara berkesinambungan sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW.

Seorang penya’ir tua berpuisi:

H A T I
Ketika telah bertemu
Dan cinta sudah menyatu
Maka sekat dan hijab menjadi sirna
Jarak dan waktu tidak berguna

Bagaikan laut ketika telah terbelah
Dan jalan setapak sudah terbuka
Maka dua kekasih
Saling mencairkan cinta

(tamat- al-Fakir ilaa afwi Maulahu, Muhammad Luthfi Ghozali)

*) Bagi yang ingin mencicipi sajian dalam menu yang tertulis, bisa segera mendaftarkan diri untuk mengikuti progam mujahadah dan riyadho selama 40 hari yang insya Allah akan diselenggarakan mulai tanggal 24 Juni 2009 di Ponpes Assalafi Al-Fithrah Gunungpati Semarang. Dijamin halal dan Gratis.




"DZIKIR MEMBUKA TUJUH PINTU HATI"


"DZIKIR MEMBUKA TUJUH PINTU HATI"
Oleh: Muhammad Luthfi Ghozali

Untuk terbukanya TUJUH PINTU HATI, yang harus dilakukan oleh seorang hamba hanyalah membangun sebab-sebabnya, yakni melaksanakan mujahadah di jalan Allah baik secara vertikal maupun horizontal. Vertikal dengan melaksanakan sholat, puasa dan dzikir yang diistiqomahkan, sedangkan horizontal dengan mengendalikan kemauan nafsu syahwat. Dengan mujahadah tersebut supaya seorang salik mendapatkan futuh (terbukanya penutup hati) dari Allah Ta’ala. Hal tersebut sebagaimana yang telah dijanjikan Allah dengan firmanNya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami”. QS.al-Ankabut.29/69.
Dalam kaitan terbukanya pintu hati bagi seorang salik, dengan dikaitkan firman Allah Ta’ala berikut ini:
إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِي
“Sesungguhnya Waliku adalah Allah, yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an). Dan Dia memberikan Walayah kepada orang yang sholeh”. QS.al-A’raaf.7/196.
Asy-Syekh Ahmad Asrori al-Ishaqi, seorang Mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiah Al-Utsmaniyah, juga pengasuh Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Kedinding Surabaya berfatwanya: “Sebagai buah yang DAPAT diperoleh dalam pelaksanaan mujahadah dan riyadhoh di jalan Allah (berthoriqoh), hati seorang salik akan mendapatkan futuh (terbukanya matahati) dari tuhan-Nya untuk menerima hidayah-Nya. Hidayah Ilahiyah tersebut akan didatangkan secara bertahap sampai tujuh tahap. Dengan futuh itu seorang hamba yang beriman berpotensi mendapatkan “ma’rifatullah” dan mencintai-Nya. Tujuh tahap tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sebagai buah dzikir yang dilakukan oleh seorang salik, tahap pertama Allah akan membuka empat pintu dzikir di hati mereka. Empat pintu dzikir itu sebagai berikut:


• Pintu pertama, lesannya dimudahkan untuk berdzikir kepada Allah namun dengan hati masih dalam keadaan lupa kepada-Nya
• Pintu kedua, lesannya berdzikir dengan hati yang sudah mulai ingat.
• Pintu ketiga, lesannya berdzikir dengan hati yang hadir di hadapan Allah.
• Pintu keempat, lesannya berdzikir dengan hati yang lupa kepada selain yang didzikiri.
Adalah empat tahap terbukanya pintu matahati (futuh) supaya seorang salik (berjalan di jalan Allah atau berthoriqoh) dapat merasakan kenikmatan berdzikir. Empat tahap tersebut harus mampu mereka selesaikan, sampai mereka benar-benar dapat merasakan kenikmatan “bermujalasah” (bersimpuh di hadapan Allah Ta’ala). Itu seperti menu makanan yang harus dimakan setiap hari, setelah hati mereka mampu menikmati kenikmatan dzikir, maka dzikir-dzikir yang harus dilakukan setiap hari-sebagai kewajiban pribadi yang sudah dibai’ati di hadapan guru mursyidnya-tidak lagi menjadi beban hidup yang harus ditanggung, tapi malah menjadi kebutuhan hidup yang sudah tidak dapat ditinggalkan.
Hal itu bisa terjadi, karena sesungguhnya hati seorang hamba telah wushul kepada Tuhannya sehingga matahatinya mampu bermusyahadah. Melihat dan menyaksikan keelokan qodho’ dan qodar-Nya, sehingga apa saja yang dihendaki oleh-Nya mampu diterima dengan hati selamat. Bahkan seperti orang yang sedang kasmaran yang duduk di sisi kekasihnya, maka kenikmatan ruhani dalam kebersamaan mampu mengalahkan kenikmatan jasmani yang ada di sekitarnya.
Itulah kenikmatan ruhaniyah/spiritual yang tidak bisa dihasilkan hanya dengan penguasaan ilmu saja tetapi juga dengan pelaksanaan amal ibadah yang terbimbing. Memadukan ilmu dan iman dalam pelaksanaan amal ibadah yang sungguh-sungguh akan melahirkan kenikmatan hakiki dalam hati yang menjadikan hati seorang hamba mendapat keyakinan dari Tuhannya sehingga mampu menjadi pendorong untuk meningkat pengabdian secara hakiki.
Mencari jati diri untuk menemukan Tuhan apabila hanya dilakukan dalam tataran ilmiyah saja bukan amaliyah, bukannya dapat menghasilkan keyakinan tetapi malah menjadikan hati seseorang menjadi semakin ragu. Hal itu disebabkan, karena apa saja yang dibicarakan dalam rangka menemukan Tuhan itu hanya ibarat membicarakan racikan minuman, padahal menemukan Allah dalam hati dengan amalan itu ibarat minum. Apakah mungkin orang yang berbicara tentang racikan minuman bisa mengusir rasa haus yang sedang mencekik tenggorokan..??? Maka yang terjadi hanyalah debat kusir yang tidak berkesudahan.

2. Ketika seorang salik dapat merasakan keni'matan berdzikir secara istiqomah, maka selanjutnya dibuka baginya pintu kedekatan dengan Allah Ta’ala.
Dengan terbukanya pintu kedekatan antara seorang hamba dengan Tuhannya, maka menjadikan seorang salik merasa selalu berada di sisi-Nya. Dimanapun berada mereka merasa dalam perlindungan, pemeliharaan dan pertolongan-Nya, sehingga kenikmatan-kenikmatan hidup yang selama ini terhijab oleh ketamakan hati dan pengakuan hawa nafsu, setelah matahati itu menjadi cemerlang, kini anugerah-anugerah Ilahi itu menjadi tampak terang di pelupuk mata. Yang demikian itu menjadikan hatinya merasa malu kepada Allah Ta’ala, betapa selama ini ternyata dia belum pernah mampu mensyukurinya. Hasilnya, maka sejak itu hidupnya menjadi penuh kedamaian, tidak merasa ada yang kurang suatu apapun lagi sehingga mampu menerbitkan rasa syukur yang hakiki.
Setelah rasa syukur itu mampu menjiwai perilaku dan karakter, maka Allah akan menurunkan tambahan kenikmatan lagi, berupa pemahaman hati akan urusan Ilahiyah sehingga mereka tidak merasa takut dan khawatir dalam mengarungi hidup untuk selama-lamanya. Itulah ilmu yakin yang didapatkan dari buah ibadah yang tidak mungkin bisa didapatkan hanya melalui menulis dan membaca saja terlebih dengan berdebat yang tidak ada ujung pangkalnya. Ilmu rasa yang disebut ‘ilmu mukasyafah’ adalah ilmu yang maha luas, seperti samudera tidak bertepi. Ketika ilmu tersebut diturunkan dalam hati seorang hamba maka rongga dadanya menjadi lapang. Yang ragu menjadi hilang, menjelma menjadi yakin sehingga memantapkan langkah kaki untuk mengabdi kepada Tuhannya. Hatinya mampu melaksanakan sujud kepada Allah Ta'ala karena ia yakin bahwa memang itu yang dikehedaki Alloh Ta'ala untuk dirinya.

3. Setelah salik berhasil menyelesaikan perjalanan tahap awal, sehingga mereka mampu menerapkan alam dzikir dalam perilaku keseharian, baik amal fertikal maupun horizontal, selanjutnya akan diangkat pada maqom kerinduan.
Merupakan tanda-tanda dimana dzikir yang dilakukan membuahkan hasil gemilang, manakala hijab-hijab basyariyah/manusiawi yang menyelimuti rongga dada menjadi hilang. Sorot matahati menjadi tajam sehingga mampu melihat hal yang lahir hingga keadaan yang batin menjadi tampak terang. Kenikmatan hidup yang semula terhijab oleh pengakuan nafsu menjadi tampak nyata, sehingga hati dapat merasakan setiap anugerah yang didatangkan, terlebih disaat mengadakan pendekatan (taqorrub) dengan ibadah dan mujahadah, maka terbitlah rasa rindu kepada Allah Ta’ala.
Rindu untuk selalu dalam kedekatan sehinga takut kehilangan yang dirindukan. Dalam keadaan demikian, maka dimanapun berada dan bagaimanapun adanya, maka kecemerlangan hati itu selalu dijaga. Takut kejernihan menjadi keruh, sehingga apapun yang dilakukan semata-mata untuk menjaga agar pencapean tidak memudar. Allah menggambarkan keadaan itu dengan firman-Nya:
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”. QS.an-Nur.24/37.

Mengapa demikian…? Karena nur Alloh telah bersemayam dalam rongga dada yang terjaga. Tanda-tandanya, mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat atas dasar menjaga supaya karunia yang sudah ada tidak kembali sirna. Itulah pertanda rasa syukur telah menghasilkan buah, berupa ilmu rasa yang hanya dapat dibuktikan dengan perilaku utama dan ahlak mulia.
Untuk mendapatkan ilmu rasa, terkadang orang tidak harus mengetahui teorinya sehingga dapat dijadikan bahan diskusi maupun berdebat dengan lawan bicara secara ilmiyah. Tanpa ilmu sekalipun jika penutup pintu hati sudah terbuka, maka siapapun dapat memahami rahasia urusan Ilahiyah. Seperti orang yang ahli Masakan Padang misalnya, dia mampu membedakan cita rasa masakan, bahkan kemampuan itu melebihi orang yang ahli masak, padahal dia tidak bisa memasak. Hal itu bisa terjadi, karena orang tersebut terbiasa makan di Rumah Makan Padang.
Para sufi sejati, mereka mampu menundukkan hati untuk mengagungkan Kebesaran Ilahi meski harus menyungkurkan dahi di atas tanah yang biasa diinjak kaki, terkadang malah tidak mampu berargumentasi. Kebanyakan mereka hidup terasing dan diasingkan orang karena tidak punya teman yang dapat dibanggakan, bahkan tidak diperhitungkan orang karena memang tidak menampakan adanya kelebihan. Namun … ketika kedua tangan menengadah ke kayangan, bermunajat dan berdo’a untuk umat yang sedang sakit karena dililit utang, maka langit menjadi goncang sehingga malaikat rohmat bergegas melaksanakan tugas membagi jatah kehidupan. Itulah kekasih sejati yang tidak butuh menoleh ke kanan kiri karena hanya mencukupkan diri kepada kehendak yang dikasihi.
4. Perjalanan selanjutnya, seorang salik akan didudukkan diatas kursi-kursi ketauhidan. Hatinya mampu mencapai tingkat kesempurnaan tauhid kepada Allah Ta’ala sehingga benar-benar mampu melaksanakan pengabdian hakiki.
• Pertama : Bertauhid didalam tujuan (tauhiidul qoshdi).
• Kedua : Bertauhid didalam perbuatan (tauhiidul fi'li)
• Ketiga : Bertauhid didalam pemilikan (tauhiidul milki).
• Keempat : Bertauhid didalam kejadian (tauhiidul wujud).
Dengan terbukanya empat pintu tauhid, menjadikan seorang hamba dapat menjaga diri dari perbuatan syirik. Baik syirik di dalam tujuan amal, syirik di dalam amal perbuatan, syirik di dalam pemilikan maupun syirik di dalam perwujudan. Dengan itu menjadikan seorang salik tidak takut dan tidak berharap kecuali hanya kepada Allah Ta’ala. Itulah kekuatan aqidah yang tertanam di dalam dada yang tentunya tidak cukup hanya dibangun dengan penguasaan ilmu pengetahuan saja, namun juga dengan pelaksanaan amal ibadah dan pengabdian yang istiqomah.
Kalau orang hanya mengerti tentang tauhid secara teori saja, bukan berupa kekuatan tauhid yang dibangun dari pelaksanaan dzikir dan wirid secara istiqomah, maka bisa jadi tauhid tersebut hanya dominan dilahirkan dalam bicara, bahkan tanpa sadar malah diaktualkan dengan menyirikkan dan membid’ahkan amalan orang.
Demikian yang banyak kita jumpai dalam komunitas masyarakat yang heterogen. Di komplek-komplek perumahan yang keyakinan masyarakatnya majemuk. Sebelum mereka datang, aktifitas keagamaan berjalan dengan tentram dan damai. Namun setelah mereka datang, dengan atas nama amal ma’ruf nahi munkar, malah kedamaian itu jadi tinggal kenangan.
Tanpa sadar mereka malah mengadu domba manusia, menyalahkan amaliah yang biasa dilakukan yang jelas telah menunjukkan hasil yang nyata. Yaitu kerukunan dalam pergaulan, karena masyarakat telah terbiasa menerima perbedaan. Tetapi setelah mereka datang, masyarakat malah menjadi bingung sehingga terjadi perpecahan.
Barangkali karena tauhid hanya di bibir saja, sehingga mereka lupa dari tujuan dakwah yang sebenarnya, yakni membangun ukhuwah Islamiyah dan menerbarakn rahmat Ilahi di alam semesta. Ironisnya, markas mereka justru di masjid-masjid yang semestinya tempat ibadah.
Masjid yang dibangun dengan jerih payah orang-orang yang taat tapi awam, pendatang itu melengserkan pengurus lama dan membentuk pengurus baru, selanjutnya mereka menyapu bersih amalan yang mereka anggap syirik dan bid’ah. Namun apa lacur, hasilnya ternyata malah keresahan dan perpecahan membudaya di lingkungan yang mestinya mereka bina. Fenomena berbicara dimana-mana.
1. Tauhidul Qosdi artinya satu tujuan. Hanya bertujuan untuk menggapai ridho Allah Ta’ala. Itu dilaksanakan dalam ibadah fertikal maupun horizontal. Baik dengan dzikir maupun dalam pengabdian.
Ketika dzikir yang dilakukan telah mencapai titik klimaks ibadah, yang semula berangkat dari alam lahir mampu menembus batas alam batin yang terjaga, maka yang semula kehendak hadits menjadi kehendak azaliah. Itulah titik pertemuan antara dua samudera yang berbeda, alam lahiriyah dengan alam ruhaniyah yang ada di dalam dada manusia, maka do’a seorang hamba mendapat ijabah karena pintu langit sudah terbuka.
Ketika perjalanan sudah mencapai pertemuan, yang satu merangkak memohon pertolongan yang satunya turun mencukupi yang dibutuhkan, maka selanjutnya seorang hamba akan didudukkan di maqom tauhid yang ke dua, yakni kebersamaan di dalam pelaksanaan amal meski berangkat dari dimensi yang berbeda keadaan.

2. Bertauhid didalam perbuatan (tauhiidul fi'li)
Allah Ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS.ash-Shoofat/96)
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى

“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar”.(QS.al-Anfal/17)
Ternyata tidak hanya jin dan manusia saja yang ciptaan Allah Ta’ala, tetapi juga amal perbuatan kita. Jika amal tersebut tidak dapat kita hayati dalam rasa, barangkali bisa dalam makna:
a) Seperti orang dihukum mati misalnya, padahal nyawa melayang di depan regu tembak dibawah perintah, tapi hakekatnya yang membunuh adalah Negara. Jika yang terhukum itu orang asing misalnya, ketika ternyata keputusan itu salah, maka yang disalahkan olah orang asing bukan penembak terpidana, bukan pula hakim yang mengetok palu di atas meja, tetapi Bangsa dan Negara yang menjadi sasaran marah.
Jika orang yang sedang berdzikir itu mampu menerapkan keyakinan dalam rasa, bahwa saat itu dia sedang tercipta sebagai orang yang berdzikir kepada tuhannya, maka dengan dzikirnya dia akan mendapat kemudahan untuk bertemu (wushul) kepada-Nya. Allah menggambarkan pertemuan itu dengan firman-Nya:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.(QS.al-Kahfi/110
)
Sebelum ada pertemuan di akhirat, seorang salik harus pernah bertemu tuhannya di dunia, itulah pertemuan antara amal dengan amal di dalam rasa. Menyatukan amal yang lahir dengan amal yang batin, menyatukan amal yang hadist dengan amal yang qodim, ketika yang hadits bertemu dengan yang qodim maka yang hadist akan menjadi kodim. Do’a menjadi ijabah, karena dipanjatkan dalam dimensi yang tidak berbeda.
b) Orang mencipta robot bisa bernyanyi misalnya, supaya setiap pagi dan petang robot itu melantunkan suara, karena sang pencipta ingin mendengar robot itu selalu memuji dan berterima kasih kepadanya. Namun ketika robot itu bernyanyi, ternyata mengaku bisa bernyanyi dengan sendirinya, bahkan tidak memuji tapi menghibur diri sendiri, mengingkari progam supaya dia bisa memuji kepada yang memberi, maka itu berarti robot yang tidak tahu diri. Betapa terkadang kita lebih tidak tahu diri, karena kita mempunyai akal dan hati untuk mengerti sedangkan robot tercipta dari besi.
Ketika seorang hamba berdzikir kepada Allah Ta’ala, memuji atas segala karunia yang sudah ada, sadar bahwa dzikir itu hakekatnya juga dzikir Alloh Ta’ala, karena Sang Maha Menerima menunggu setiap pujian yang datang kepada-Nya, maka dalam batas yang tersedia, dzikir akan ketemu dzikir meski keduanya berangkat dari dimensi berbeda, yang satu berupa do’a dan satunya ijabah.
Allah berfirman:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu” (QS.al-Baqoroh/152)
Ini merupakan gambaran interaksi dua dzikir yang berbeda, yang satu berangkat dari dimensi hadist (baru) yang satunya didatangkan dari dimensi qodim (azali). Mestinya beda tapi bisa saling bertemu, karena keduanya terpancar dari dimensi yang sama. Namun dengan syarat manakala seorang salik mampu mengkondisikan dzikir yang asalnya hadits menjadi qodim, dengan meredam yang lahir supaya kehidupan batin menjadi nyata, karena tidak mungkin dua energi bisa bertemu kecuali dalam frekuensi yang sama.

Dengan mengembalikan segala amal yang sedang dikerjakan kepada ketetapan yang sudah diputuskan maka dua dzikir tersebut bertemu dalam titik yang sudah ditentukan. Itu merupakan sunnatullah yang tidak akan ada perubahan, siapa saja dapat melakukan asal tahu ilmunya dan mendapat bimbingan secara berkesinambungan.

3. Bertauhid didalam pemilikan (tauhiidul milki).
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ
Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan (pemilikan), Engkau berikan kerajaan (pemilikan) kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan (pemilikan) dari orang yang Engkau kehendaki.(QS.Ali Imran/26)
Semua orang beriman tahu bahwa segala pemilikan hanyalah milik Allah, bukan milik diri pribadi meski itu hasil mencari setengah mati, namun hanya titipan yang harus dijaga dan diawasi, supaya dengan itu dia dapat mengabdi. Bahkan untuk nyawanya sendiri, bukan manusia yang memiliki, ketika saatnya Allah berkehendak menarik kembali, maka yang paling dicintai itu terpaksa harus direlakan pergi.
Inilah tingkat tauhid yang ketiga, ketika seorang hamba tidak merasa memiliki semua yang ada, karena dia yakin itu semua merupakan sarana ibadah yang harus dijaga, supaya dia bisa mengabdi kepada yang menurunkan anugrah, maka dia akan menjadi abdi yang sesungguhnya.
Apakah mungkin orang bisa mengabdi kepada Ilahi Rabbi ketika dia masih merasa memiliki, meski itu hanya berupa harga diri yang tidak pernah membeli, sehingga berat hati bersujud menyungkurkan diri, untuk mengagungkan Dzat yang telah menghidupi jantung dan hati.
Ketika orang merasa memiliki, baik anak istri maupun harta yang dikumpulkan setiap hari, bahkan meski itu berupa kemampuan berdzikir yang dilakukan setiap petang dan pagi, sehingga dzikir itu dijaga dengan istiqomah setengah mati, maka boleh jadi dia bukan abdi yang hakiki, tetapi hamba istiqomah yang diyakini, karena istiqomah itu sejatinya yang dicintai, bukan dengan istiqomah supaya berjumpah dengan Yang menancapkan iman dan menguatkan hati.

4. Bertauhid didalam kejadian (tauhiidul wujud).
Tauhid pada tingkat empat ini bukan berupa ilmu pengetahuan sehingga bisa diuraikan, bukan teori sehingga bisa dijabarkan, bukan argumentasi sehingga bisa diperdepatkan, tetapi rasa yang ada dalam hati seorang hamba sejati yang telah mampu berpasrah diri secara kaffah atas segala kehendak dan ketetapan. SEORANG SALIK DI JALAN ALLAH yang hatinya telah diselamatkan dari segala romantika hidup yang sudah dilalui baik yang menakutkan maupun yang menawan. Alloh Ta’ala yang mentarbiyah mereka: (“Dan Dia memberikan Walayah kepada orang-orang yang sholeh”. QS.al-A’raaf.7/196.) Sehingga hanya Alloh pula yang tahu detailnya. Apabila ada upaya manusia untuk mengintip keadaan tersebut, mencari tahu rahasia yang tersimpan dalam perbendaharaan ghaib yang terjaga, maka pasti yang tertangkap hanyalah hasil imajinasi manusiawi yang sangat terbatas sehingga patut tidak dipercaya. Semoga teman-teman tidak mempercayai uraian dalam catatan ini.
Kita mulai menyelami dalamnya samudera yang tidak bertepi, mencari tahu hal dan keadaan yang tersimpan rapat di dalam rongga dada yang terjaga. Maka sebenarnya tidak ada kata yang dapat menggambarkan keadaan tersebut, kecuali dengan bahasa rasa. Namun tentunya hanya orang yang pernah merasakan yang mampu memahaminya sehingga dengan bahasa rasa pula mereka dapat menceritakan pemahaman itu kepada orang lain. Padahal tidak ada orang yang dapat memahami bahasa rasa kecuali orang yang pernah merasakan.
Seperti orang ahli merokok misalnya, dia bisa membedakan rasa rokok yang satu dengan yang lainnya, tapi bagaimana mungkin dia bisa menceritakan rasa tersebut kepada orang yang tidak pernah merokok ..? Maka hendaklah Anda berhati-hati dalam mengikuti apa yang bisa dibaca ini, karena banyak arus liar yang bisa menjebak alam piker sehingga orang menjadi bingung, siapa yang terseret arus tersebut berarti akan mabuk kepayang.
Alam yang ada di dalam rongga dada manusia ada dua dimensi, dimensi lahir dan dimensi batin. Sebenarnya kedua alam tersebut dibatasi barzah, namun dengan izin-Nya atau yang disebut ilmu dan urusan Allah ta’ala, suatu saat barzah itu DIBIARKAN TERBUKA. Allah menggambarkan kedua alam itu dengan firman-Nya:
مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ (19) بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَا يَبْغِيَانِ
Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu-antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.(QS.Ar-Rahman/19-20)
Alam lahir disebut alam MULKI WASY-SYAHADAH dan alam batin disebut alam MALAKUT, adapun batas (barzah) kedua alam itu disebut alam JABARUT.
Konon tingkat dasar atau paling bawah dari alam JABARUT adalah alam JIN dan tingkat yang teratas adalah alam QOLAM, namun untuk mencapai alam QOLAM tersebut seorang salik harus mampu melawati segala jebakan dan ranjau yang ada di alam JIN. Di alam QOLAM itu ada tangan yang selalu menulis tiada henti, oleh karenanya alam ini disebut alam QOLAM.
Dari alam QOLAM itulah memancarkan INSPIRASI dan ILHAM ke dalam rongga dada manusia, itulah yang disebut IRODATUL AZALIYAH, sehingga dengan pancaran INSPIRASI DAN ILHAM yang azali itu kemudian terbit IRODATUL HADIS atau ‘kemuan baru’ yang disebut FAQOTUDZ DZATIYAH.
Ilham tersebut bisa baik bisa buruk, namun itu semua terjadi dengan ilmu dan urusan Allah. Allah menegaskan dengan firman-Nya:

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya - sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu - dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.(QS.asy-Syamsi/8-10)
Sungguh beruntung orang yang mampu menyucikan jiwanya meski setiap saat masuk ilham yang baik maupun ilham yang buruk. Adapun yang disebut FAQOTUDZ DZATIYAH itu wujudnya berupa keinginan manusiawi yang terbit dari dalam jiwa yang belum dipengaruhi baik oleh nafsu maupun akal, itu merupakan pintu pertama sistem tarbiyah azaliyah yang diturunkan dalam kehidupan seorang hamba, dengan itu kemudian manusia mempunyai kemauan yang sesunggunya sudah disesuaikan dengan kemampuan yang ada.
Alam QOLAM itu adalah batas yang dapat dicapai oleh seorang salik dalam melaksanakan pengembaraan ruhaniah sebelum dia mencapai alam MALAKUT yang ada dalam jiwanya sendiri. Di alam inilah letak arus yang paling kuat itu, sehingga selain Rasulullah SAW pasti akan hanyut dan tenggelam dalam rasa, sehingga orang lain mengatakan dia gila. Anda jangan mencoba melakukan pengembaraan disana sebelum siap menjadi orang gila …. he he he.
Allah menggambarkan keadaan tersebut dengan firman-Nya:
ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ (1) مَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ (2) وَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ (3) وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (4) فَسَتُبْصِرُ وَيُبْصِرُونَ (5) بِأَيِّيكُمُ الْمَفْتُونُ
Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis-berkat ni'mat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila-Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya-Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung-Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat siapa di antara kamu yang gila. (QS.al-Qolam/1-5)
Meski pengembaraan seorang salik seringkali menyebabkan dirinya MABUK atau GILA, namun ketika dia mampu melewati masa gilanya dengan selamat, dia akan mendapatkan pengalaman spiritual yang nilainya sangat tinggi. Merupakan ilmu rasa yang tidak mungkin dapat diperoleh dari lembaga pendidikan formal maupun pelatihan. Terbukanya matahati sehingga yang semula ghaib menjadi nyata. Tetapi sebaliknya, jika orang tersebut tidak mampu melepaskan diri dari arus yang menyeret perasaan itu, maka selamanya akan menjadi orang MABUK sehingga terbuang dari lingkungan yang dulu mencintainya. Menjadi jasad yang tidak bertuan sehingga kesana kemari diusir orang. Siapa yang ingin mencoba ….?? Silahkan mendaftar disini.....
Dari yang asalnya SADAR menjadi GILA tapi kemudian menuju SADAR kembali, itulah perjalanan yang harus ditempuh seorang salik sejati untuk mencapai alam kesufian. Menjadi sepi meski dalam keramaian sehingga sendiri dengan Dzat yang SENDIRI dalam kesatuan yang abadi. Yang satu SATU di BUMI yang satunya SATU di LANGIT. Tidak dengan SESUATU dan tidak untuk SESUATU, yang ada semata-mata hanya KEAGUNGAN yang menyatu. KEAGUNGAN yang tidak mempunyai AWAL dan tidak mumpunyai AKHIR. Itulah gambaraan sebuah pengembaraan ruhaniah yang menantang bahaya. Oleh karena itu, tanpa bimbingan ahlinya, dapat dipastikan orang akan tenggelam berkepanjangan dalam KEGILAAN.
Ulama ahlinya telah memberi peringatan kepada kita dengan ungkapannya yang sangat terkenal: “Barangsiapa beramal tanpa guru maka gurunya setan”. Tapi sayangnya kita yang diberi peringatan malah salah faham. Mengapa demikian ..?? karena kita memang belum pernah merasakan pahitnya mabuk dalam KEGILAAN.
Ketika orang yang sedang tenggelam itu kemudian menceritakan pengalaman perjalanannya saat tenggelam, maka tentunya mereka menggunakan BAHASANYA ORANG TENGGELAM, oleh karenanya tidak ada yang dapat memahami kecuali orang yang pernah TENGGELAM. Inilah rahasia ungkapan Ulama: “tidak ada yang tahu WALI kecuali WALI”. Jadi, jika ada orang mengaku WALI berarti perasaan orang tersebut sedang TENGGELAM dalam KEGILAAN.
Jika kita tidak ingin TENGGELAM sehingga disangka orang lain sebagai ORANG GILA, maka sebaiknya catatan pada pembahasan ini kita disudahi sampai disini saja dan kita akan melanjutkan perjalanan pada tahap merikutnya meski sesuai dengan kemampuan yang ada.
Jadi, yang dimaksud tauhid dalam wujud itu bukan pertemuan antar wujud makhluk dengan wujud Penciptanya, Maha SUCI Alloh terhadap setiap persangkaan hamba-Nya yang salah, tapi pertemuan rasa antara dua maujud yang berbeda dalam satu nuansa. Tidak ada yang dapat digambarkan kondisi pertemuan itu dengan kata-kata, yang pasti kita tahu bahwa tidak ada MUAJUD yang HAK kecuali MAUJUD-NYA maka tidak ada yang HAK DISEMBAH kecuali ALLAH TA’ALA.
Seorang penyair bersenandung dalam lamunan:

TARBIYAH

Saat gemerlap bintang mulai samar
Karena ditinggal sang dewi malam
Kokok ayam jantan
Memecah lamunan
Putuskan angan
Di dalam bingkai tirai-Mu
Kutemukan samudera
Ketika kuselami
Dan semakin dalam
Ternyata kutemukan dasar
Walau bukan dasar

Ada mutiara
Terapung
Bersinar
Aku mengkejar .....
Ternyata kutemukan aku
Mengapa aku
Padahal bukan aku

Di dalam bingkai tirai-Mu
Kutemukan samudera
Ada arus halus liputi Pelita
Ada sinar terlepas
Memantul
Membakar karat penutup mata


Di dalam bingkai tirai-Mu
Ada samudera
Yang bukan samudera
Tapi banyak penyelam
Tengelam
Mati

Dan mati yang sebenarnya
Di dalam bingkai tirai-Mu
Kutemukan tangan-tangan kokoh
Menarik tangan lemah
Yang tenggelam
Kehabisan nafas
Lalu diayun dalam dekapan
Nina bobo kasih sayang

Di dalam bingkai tirai-Mu
Kutemukan tetes air kehidupan
Sebutir benih padi
Yang terusir terpencil
Di padang tandus
Terkadang malah dapat bersemi
Walau di musim kemarau panjang
Di dalam bingkai tirai-Mu
Kutemukan kasih sayang
1997

5. Setelah salik berhasil melewati empat tahapan perjalanan ibadah dan mujahadah dengan sempurna, yakni dibukakan pintu dzikir, pintu kedekatan, pintu kerinduan terus didudukkan di maqom tauhid. Kemudian pada tahap kelima, hijab-hijab yang ada dalam hati dirontokkan dan dimasukkan ke maqom Wahdaniyat. Jiwanya melebur dalam sifat Rububiyyah sehingga perilakunya mampu memancarkan sifat yang utama dan AKHLAKUL KARIMAH.
Kekuatan suluk(mistikisme) yang mampu diaktualkan oleh seorang salik di jalan Allah Ta’ala dalam pelaksanaan dzikir dan wirid secara istiqomah, dengan didasari tauhid yang sempurna menjadikan hatinya melebur di Haribaan Tuhannya, nuraninya menyatu di dalam rahasia ke-Esaan-Nya. Seperti segelas air susu ketika dituangkan di tengah luasnya samudera, maka segelas air campur susu itu seketika melebur menjadi air yang sama.
Demikianlah jiwa manusia yang terkadang sempat tercemari kotoran basyariyah, baik yang diakibatkan perbuatan maksiat dan dosa maupun sifat dan karakter yang tercela, sehingga menjadi keruh dan buta, dengan pelaksanaan suluk yang istiqomah akhirnya kembali seperti fithrahnya.
Karena asal mula air susu dan air samudera itu memang tidak berbeda. Seandainya berbeda, seperti air dan minyak mentah, meski keduanya keluar dari tempat yang sama, akhirnya akan berpisah juga. Demikian gambaran hati orang beriman dan orang yang ingkar, meski terkadang mereka sempat menunjukkan penampilan lahir yang sama, bahkan bersama melaksanakan ibadah di bawah satu atap masjid yang sama, ternyata kehidupan mereka tidak juga mampu menunjukkan sikap persaudaraan yang sebenarnya, bahkan terkadang saling sikut-sikutan sekedar untuk berebut pengaruh dan kedudukan. Terlebih jika mereka hidup di ranah perpolitikan, maka yang asalnya murid dan guru bisa saling bermusuhan, bahkan masing-masing menjadi musuh bebuyutan. Fenomena sudah memunculkan penampakan.
Buah yang di dapat dari penyatuan dzikir tersebut adalah penyatuan dua sifat meski dalam dimensi berbeda, sehingga seorang salik mampu menerapkan sifat Rububiyah kepada sesama manusia. Menebarkan sifat rahman rahim dalam kehidupan sehingga terciptalah persaudaraan di bawah panji-panji Uhuwah Islamiyah. Mereka mampu mencintai sesama saudara karena hatinya telah dipancari NUR ILAHIYAH. Seperti itu yang telah dilakukan oleh penghulu manusia, Rasulullah Muhammad SAW sebagai USWAH DAN UDWAH manusia, terbukti dengan cintanya umat kepadanya, karena kecintaan tersebut adalah buah dari kecintaan Beliau kepada umatnya. Apakah hati akan membantah ketika Allah telah mengabadikan sejarah dengan firman-Nya:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS.al-Fath/29)
Jadi, perjalanan yang ditempuh oleh seorang salik dengan susah payah dan menantang bahaya, mempertaruhkan jiwa untuk menembus lapisan alam yang ada di dalam dada, yang asalnya SADAR menjadi GILA tapi kemudian menuju SADAR seperti sediakala, jika perjalanan itu menampakkan hasilnya, maka bukannya mereka itu akan menjadi manusia sakti mandra guna karena hidupnya dipenuhi karomah atau menjadi thobib terkenal karena mampu menyembuhkan orang sakit yang sudah koma, atau menjadi penguasa kaya karena telah berhasil menghabisi saingan dan musuh utama, tetapi tumbuhnya kemampuan dalam jiwa untuk menggalang Ukhuwah Islamiyah.




6. Setelah yang asalnya berbeda itu telah mampu kembali kepada asalnya, kembali ke Haribaan-Nya meski masih di dunia fana, selanjutnya dibukakan baginya penutup-penutup Keagungan dan Kebesaran Allah Ta'ala. Ketika matahati seorang hamba yang tembus pandang itu selalu melihat Keagungan dan Kebesaran Tuhannya maka jadilah hati itu fana di Haribaan Tuhannya.

7. Selanjutnya, Allah memberikan penjagaan (makhfudz) dan pemeliharaan (tarbiyah) kepadanya. Adapun pertama kali penjagaan dan pemeliharaan yang diberikan itu, seorang hamba terjaga dari pengakuan nafsunya sendiri sehingga selamat dari ganguan setan yang tercela. Dengan penjagaan tersebut maka jadilah dia sebagai orang yang mendapat Walayah atau disebut Waliyullah.
Tujuh tingka perjalanan tersebut merupakan tahapan futuh atau terbukanya matahati untuk bermusyahadah dan berma’rifat kepada Allah Ta’ala, hal tersebut harus dicapai oleh seorang salik melalui tahapan suluk(meditasi islami). Untuk itu seorang hamba harus menjalani jalan ibadah(thoriqot) yang terbimbing oleh guru ahlinya(guru mursyid yang suci lagi mulia).
Manakala jalan ibadah dilakukan itu tanpa bimbingan dari ahlinya, maka yang akan menjadi pembimbing pejalanan adalah setan Jin yang siap siaga. Amal ibadah itu bukannya menghasilkan karomah atau ma’rifatullah, tapi boleh jadi malah menghasilkan kelebihan pribadi yang disebut istidroj sehingga malah mendorong manusia terperangkap kepada tipu daya setan Jin yang cela.
Akibatnya, hasil akhir mujahadah dan riyadhoh yang dilakukan itu hanya menjadikan para salik menjadi dukun dan paranormal yang cenderung berbuat syirik, sombong dan takabbur karena diri merasa punya kelebihan. Terlebih ketika dukun dan paranormal itu berangkat dari pesantren yang terkenal, dari orang-orang yang pandai membaca kitab kuning dan berpidato di depan orang, maka orang awam mengira itulah gambaran Kyai yang diidam-iadamkan. Sehingga para santri tidak ragu mengikuti perbuatan yang mereka lakukan, akhirnya mereka saling berlomba mencalonkan diri menjadi wakil pejabat meski tidak punya uang, karena hatinya bernafsu ingin mempunyai kekuasaan.
Inilah penyebab kehancuran tatanan kehidupan, karena pimpinan telah membangunkan paradigma secara terang-terangan, maka santri-santri yang meniru tidak mudah diajak sadar dari kesalahan. Oleh karena itu, tidak cukup hanya ilmu saja kemudian diamalkan untuk mencapai tujuan. Ilmu itu harus digurukan, lalu dengan bimbingan, baru ilmu itu dipraktekkan. Sebab yang harus diilmui adalah hatinya sendiri, supaya hati itu bebas dari kotoran karakter basyariyah yang dapat menyesatkan jalan kehidupan.
Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jilani ra. berkata: “Seseorang tidak akan dibuka hatinya kecuali mereka yang telah bersih dari pengakuan nafsu dan kemauan syahwat. Maka ketika seseorang teledor untuk mensucikan jiwanya, ia diuji oleh Allah dengan sakit, sebagai kafarat dan pensucian terhadap jiwanya, sadar maupun tidak, supaya dia pantas untuk bermujalasah di hadapan Tuhannya” (Lujjainid Dani)