Sabtu, 12 Juni 2010

"DZIKIR MEMBUKA TUJUH PINTU HATI"


"DZIKIR MEMBUKA TUJUH PINTU HATI"
Oleh: Muhammad Luthfi Ghozali

Untuk terbukanya TUJUH PINTU HATI, yang harus dilakukan oleh seorang hamba hanyalah membangun sebab-sebabnya, yakni melaksanakan mujahadah di jalan Allah baik secara vertikal maupun horizontal. Vertikal dengan melaksanakan sholat, puasa dan dzikir yang diistiqomahkan, sedangkan horizontal dengan mengendalikan kemauan nafsu syahwat. Dengan mujahadah tersebut supaya seorang salik mendapatkan futuh (terbukanya penutup hati) dari Allah Ta’ala. Hal tersebut sebagaimana yang telah dijanjikan Allah dengan firmanNya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami”. QS.al-Ankabut.29/69.
Dalam kaitan terbukanya pintu hati bagi seorang salik, dengan dikaitkan firman Allah Ta’ala berikut ini:
إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِي
“Sesungguhnya Waliku adalah Allah, yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an). Dan Dia memberikan Walayah kepada orang yang sholeh”. QS.al-A’raaf.7/196.
Asy-Syekh Ahmad Asrori al-Ishaqi, seorang Mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiah Al-Utsmaniyah, juga pengasuh Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Kedinding Surabaya berfatwanya: “Sebagai buah yang DAPAT diperoleh dalam pelaksanaan mujahadah dan riyadhoh di jalan Allah (berthoriqoh), hati seorang salik akan mendapatkan futuh (terbukanya matahati) dari tuhan-Nya untuk menerima hidayah-Nya. Hidayah Ilahiyah tersebut akan didatangkan secara bertahap sampai tujuh tahap. Dengan futuh itu seorang hamba yang beriman berpotensi mendapatkan “ma’rifatullah” dan mencintai-Nya. Tujuh tahap tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sebagai buah dzikir yang dilakukan oleh seorang salik, tahap pertama Allah akan membuka empat pintu dzikir di hati mereka. Empat pintu dzikir itu sebagai berikut:


• Pintu pertama, lesannya dimudahkan untuk berdzikir kepada Allah namun dengan hati masih dalam keadaan lupa kepada-Nya
• Pintu kedua, lesannya berdzikir dengan hati yang sudah mulai ingat.
• Pintu ketiga, lesannya berdzikir dengan hati yang hadir di hadapan Allah.
• Pintu keempat, lesannya berdzikir dengan hati yang lupa kepada selain yang didzikiri.
Adalah empat tahap terbukanya pintu matahati (futuh) supaya seorang salik (berjalan di jalan Allah atau berthoriqoh) dapat merasakan kenikmatan berdzikir. Empat tahap tersebut harus mampu mereka selesaikan, sampai mereka benar-benar dapat merasakan kenikmatan “bermujalasah” (bersimpuh di hadapan Allah Ta’ala). Itu seperti menu makanan yang harus dimakan setiap hari, setelah hati mereka mampu menikmati kenikmatan dzikir, maka dzikir-dzikir yang harus dilakukan setiap hari-sebagai kewajiban pribadi yang sudah dibai’ati di hadapan guru mursyidnya-tidak lagi menjadi beban hidup yang harus ditanggung, tapi malah menjadi kebutuhan hidup yang sudah tidak dapat ditinggalkan.
Hal itu bisa terjadi, karena sesungguhnya hati seorang hamba telah wushul kepada Tuhannya sehingga matahatinya mampu bermusyahadah. Melihat dan menyaksikan keelokan qodho’ dan qodar-Nya, sehingga apa saja yang dihendaki oleh-Nya mampu diterima dengan hati selamat. Bahkan seperti orang yang sedang kasmaran yang duduk di sisi kekasihnya, maka kenikmatan ruhani dalam kebersamaan mampu mengalahkan kenikmatan jasmani yang ada di sekitarnya.
Itulah kenikmatan ruhaniyah/spiritual yang tidak bisa dihasilkan hanya dengan penguasaan ilmu saja tetapi juga dengan pelaksanaan amal ibadah yang terbimbing. Memadukan ilmu dan iman dalam pelaksanaan amal ibadah yang sungguh-sungguh akan melahirkan kenikmatan hakiki dalam hati yang menjadikan hati seorang hamba mendapat keyakinan dari Tuhannya sehingga mampu menjadi pendorong untuk meningkat pengabdian secara hakiki.
Mencari jati diri untuk menemukan Tuhan apabila hanya dilakukan dalam tataran ilmiyah saja bukan amaliyah, bukannya dapat menghasilkan keyakinan tetapi malah menjadikan hati seseorang menjadi semakin ragu. Hal itu disebabkan, karena apa saja yang dibicarakan dalam rangka menemukan Tuhan itu hanya ibarat membicarakan racikan minuman, padahal menemukan Allah dalam hati dengan amalan itu ibarat minum. Apakah mungkin orang yang berbicara tentang racikan minuman bisa mengusir rasa haus yang sedang mencekik tenggorokan..??? Maka yang terjadi hanyalah debat kusir yang tidak berkesudahan.

2. Ketika seorang salik dapat merasakan keni'matan berdzikir secara istiqomah, maka selanjutnya dibuka baginya pintu kedekatan dengan Allah Ta’ala.
Dengan terbukanya pintu kedekatan antara seorang hamba dengan Tuhannya, maka menjadikan seorang salik merasa selalu berada di sisi-Nya. Dimanapun berada mereka merasa dalam perlindungan, pemeliharaan dan pertolongan-Nya, sehingga kenikmatan-kenikmatan hidup yang selama ini terhijab oleh ketamakan hati dan pengakuan hawa nafsu, setelah matahati itu menjadi cemerlang, kini anugerah-anugerah Ilahi itu menjadi tampak terang di pelupuk mata. Yang demikian itu menjadikan hatinya merasa malu kepada Allah Ta’ala, betapa selama ini ternyata dia belum pernah mampu mensyukurinya. Hasilnya, maka sejak itu hidupnya menjadi penuh kedamaian, tidak merasa ada yang kurang suatu apapun lagi sehingga mampu menerbitkan rasa syukur yang hakiki.
Setelah rasa syukur itu mampu menjiwai perilaku dan karakter, maka Allah akan menurunkan tambahan kenikmatan lagi, berupa pemahaman hati akan urusan Ilahiyah sehingga mereka tidak merasa takut dan khawatir dalam mengarungi hidup untuk selama-lamanya. Itulah ilmu yakin yang didapatkan dari buah ibadah yang tidak mungkin bisa didapatkan hanya melalui menulis dan membaca saja terlebih dengan berdebat yang tidak ada ujung pangkalnya. Ilmu rasa yang disebut ‘ilmu mukasyafah’ adalah ilmu yang maha luas, seperti samudera tidak bertepi. Ketika ilmu tersebut diturunkan dalam hati seorang hamba maka rongga dadanya menjadi lapang. Yang ragu menjadi hilang, menjelma menjadi yakin sehingga memantapkan langkah kaki untuk mengabdi kepada Tuhannya. Hatinya mampu melaksanakan sujud kepada Allah Ta'ala karena ia yakin bahwa memang itu yang dikehedaki Alloh Ta'ala untuk dirinya.

3. Setelah salik berhasil menyelesaikan perjalanan tahap awal, sehingga mereka mampu menerapkan alam dzikir dalam perilaku keseharian, baik amal fertikal maupun horizontal, selanjutnya akan diangkat pada maqom kerinduan.
Merupakan tanda-tanda dimana dzikir yang dilakukan membuahkan hasil gemilang, manakala hijab-hijab basyariyah/manusiawi yang menyelimuti rongga dada menjadi hilang. Sorot matahati menjadi tajam sehingga mampu melihat hal yang lahir hingga keadaan yang batin menjadi tampak terang. Kenikmatan hidup yang semula terhijab oleh pengakuan nafsu menjadi tampak nyata, sehingga hati dapat merasakan setiap anugerah yang didatangkan, terlebih disaat mengadakan pendekatan (taqorrub) dengan ibadah dan mujahadah, maka terbitlah rasa rindu kepada Allah Ta’ala.
Rindu untuk selalu dalam kedekatan sehinga takut kehilangan yang dirindukan. Dalam keadaan demikian, maka dimanapun berada dan bagaimanapun adanya, maka kecemerlangan hati itu selalu dijaga. Takut kejernihan menjadi keruh, sehingga apapun yang dilakukan semata-mata untuk menjaga agar pencapean tidak memudar. Allah menggambarkan keadaan itu dengan firman-Nya:
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”. QS.an-Nur.24/37.

Mengapa demikian…? Karena nur Alloh telah bersemayam dalam rongga dada yang terjaga. Tanda-tandanya, mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat atas dasar menjaga supaya karunia yang sudah ada tidak kembali sirna. Itulah pertanda rasa syukur telah menghasilkan buah, berupa ilmu rasa yang hanya dapat dibuktikan dengan perilaku utama dan ahlak mulia.
Untuk mendapatkan ilmu rasa, terkadang orang tidak harus mengetahui teorinya sehingga dapat dijadikan bahan diskusi maupun berdebat dengan lawan bicara secara ilmiyah. Tanpa ilmu sekalipun jika penutup pintu hati sudah terbuka, maka siapapun dapat memahami rahasia urusan Ilahiyah. Seperti orang yang ahli Masakan Padang misalnya, dia mampu membedakan cita rasa masakan, bahkan kemampuan itu melebihi orang yang ahli masak, padahal dia tidak bisa memasak. Hal itu bisa terjadi, karena orang tersebut terbiasa makan di Rumah Makan Padang.
Para sufi sejati, mereka mampu menundukkan hati untuk mengagungkan Kebesaran Ilahi meski harus menyungkurkan dahi di atas tanah yang biasa diinjak kaki, terkadang malah tidak mampu berargumentasi. Kebanyakan mereka hidup terasing dan diasingkan orang karena tidak punya teman yang dapat dibanggakan, bahkan tidak diperhitungkan orang karena memang tidak menampakan adanya kelebihan. Namun … ketika kedua tangan menengadah ke kayangan, bermunajat dan berdo’a untuk umat yang sedang sakit karena dililit utang, maka langit menjadi goncang sehingga malaikat rohmat bergegas melaksanakan tugas membagi jatah kehidupan. Itulah kekasih sejati yang tidak butuh menoleh ke kanan kiri karena hanya mencukupkan diri kepada kehendak yang dikasihi.
4. Perjalanan selanjutnya, seorang salik akan didudukkan diatas kursi-kursi ketauhidan. Hatinya mampu mencapai tingkat kesempurnaan tauhid kepada Allah Ta’ala sehingga benar-benar mampu melaksanakan pengabdian hakiki.
• Pertama : Bertauhid didalam tujuan (tauhiidul qoshdi).
• Kedua : Bertauhid didalam perbuatan (tauhiidul fi'li)
• Ketiga : Bertauhid didalam pemilikan (tauhiidul milki).
• Keempat : Bertauhid didalam kejadian (tauhiidul wujud).
Dengan terbukanya empat pintu tauhid, menjadikan seorang hamba dapat menjaga diri dari perbuatan syirik. Baik syirik di dalam tujuan amal, syirik di dalam amal perbuatan, syirik di dalam pemilikan maupun syirik di dalam perwujudan. Dengan itu menjadikan seorang salik tidak takut dan tidak berharap kecuali hanya kepada Allah Ta’ala. Itulah kekuatan aqidah yang tertanam di dalam dada yang tentunya tidak cukup hanya dibangun dengan penguasaan ilmu pengetahuan saja, namun juga dengan pelaksanaan amal ibadah dan pengabdian yang istiqomah.
Kalau orang hanya mengerti tentang tauhid secara teori saja, bukan berupa kekuatan tauhid yang dibangun dari pelaksanaan dzikir dan wirid secara istiqomah, maka bisa jadi tauhid tersebut hanya dominan dilahirkan dalam bicara, bahkan tanpa sadar malah diaktualkan dengan menyirikkan dan membid’ahkan amalan orang.
Demikian yang banyak kita jumpai dalam komunitas masyarakat yang heterogen. Di komplek-komplek perumahan yang keyakinan masyarakatnya majemuk. Sebelum mereka datang, aktifitas keagamaan berjalan dengan tentram dan damai. Namun setelah mereka datang, dengan atas nama amal ma’ruf nahi munkar, malah kedamaian itu jadi tinggal kenangan.
Tanpa sadar mereka malah mengadu domba manusia, menyalahkan amaliah yang biasa dilakukan yang jelas telah menunjukkan hasil yang nyata. Yaitu kerukunan dalam pergaulan, karena masyarakat telah terbiasa menerima perbedaan. Tetapi setelah mereka datang, masyarakat malah menjadi bingung sehingga terjadi perpecahan.
Barangkali karena tauhid hanya di bibir saja, sehingga mereka lupa dari tujuan dakwah yang sebenarnya, yakni membangun ukhuwah Islamiyah dan menerbarakn rahmat Ilahi di alam semesta. Ironisnya, markas mereka justru di masjid-masjid yang semestinya tempat ibadah.
Masjid yang dibangun dengan jerih payah orang-orang yang taat tapi awam, pendatang itu melengserkan pengurus lama dan membentuk pengurus baru, selanjutnya mereka menyapu bersih amalan yang mereka anggap syirik dan bid’ah. Namun apa lacur, hasilnya ternyata malah keresahan dan perpecahan membudaya di lingkungan yang mestinya mereka bina. Fenomena berbicara dimana-mana.
1. Tauhidul Qosdi artinya satu tujuan. Hanya bertujuan untuk menggapai ridho Allah Ta’ala. Itu dilaksanakan dalam ibadah fertikal maupun horizontal. Baik dengan dzikir maupun dalam pengabdian.
Ketika dzikir yang dilakukan telah mencapai titik klimaks ibadah, yang semula berangkat dari alam lahir mampu menembus batas alam batin yang terjaga, maka yang semula kehendak hadits menjadi kehendak azaliah. Itulah titik pertemuan antara dua samudera yang berbeda, alam lahiriyah dengan alam ruhaniyah yang ada di dalam dada manusia, maka do’a seorang hamba mendapat ijabah karena pintu langit sudah terbuka.
Ketika perjalanan sudah mencapai pertemuan, yang satu merangkak memohon pertolongan yang satunya turun mencukupi yang dibutuhkan, maka selanjutnya seorang hamba akan didudukkan di maqom tauhid yang ke dua, yakni kebersamaan di dalam pelaksanaan amal meski berangkat dari dimensi yang berbeda keadaan.

2. Bertauhid didalam perbuatan (tauhiidul fi'li)
Allah Ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS.ash-Shoofat/96)
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى

“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar”.(QS.al-Anfal/17)
Ternyata tidak hanya jin dan manusia saja yang ciptaan Allah Ta’ala, tetapi juga amal perbuatan kita. Jika amal tersebut tidak dapat kita hayati dalam rasa, barangkali bisa dalam makna:
a) Seperti orang dihukum mati misalnya, padahal nyawa melayang di depan regu tembak dibawah perintah, tapi hakekatnya yang membunuh adalah Negara. Jika yang terhukum itu orang asing misalnya, ketika ternyata keputusan itu salah, maka yang disalahkan olah orang asing bukan penembak terpidana, bukan pula hakim yang mengetok palu di atas meja, tetapi Bangsa dan Negara yang menjadi sasaran marah.
Jika orang yang sedang berdzikir itu mampu menerapkan keyakinan dalam rasa, bahwa saat itu dia sedang tercipta sebagai orang yang berdzikir kepada tuhannya, maka dengan dzikirnya dia akan mendapat kemudahan untuk bertemu (wushul) kepada-Nya. Allah menggambarkan pertemuan itu dengan firman-Nya:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.(QS.al-Kahfi/110
)
Sebelum ada pertemuan di akhirat, seorang salik harus pernah bertemu tuhannya di dunia, itulah pertemuan antara amal dengan amal di dalam rasa. Menyatukan amal yang lahir dengan amal yang batin, menyatukan amal yang hadist dengan amal yang qodim, ketika yang hadits bertemu dengan yang qodim maka yang hadist akan menjadi kodim. Do’a menjadi ijabah, karena dipanjatkan dalam dimensi yang tidak berbeda.
b) Orang mencipta robot bisa bernyanyi misalnya, supaya setiap pagi dan petang robot itu melantunkan suara, karena sang pencipta ingin mendengar robot itu selalu memuji dan berterima kasih kepadanya. Namun ketika robot itu bernyanyi, ternyata mengaku bisa bernyanyi dengan sendirinya, bahkan tidak memuji tapi menghibur diri sendiri, mengingkari progam supaya dia bisa memuji kepada yang memberi, maka itu berarti robot yang tidak tahu diri. Betapa terkadang kita lebih tidak tahu diri, karena kita mempunyai akal dan hati untuk mengerti sedangkan robot tercipta dari besi.
Ketika seorang hamba berdzikir kepada Allah Ta’ala, memuji atas segala karunia yang sudah ada, sadar bahwa dzikir itu hakekatnya juga dzikir Alloh Ta’ala, karena Sang Maha Menerima menunggu setiap pujian yang datang kepada-Nya, maka dalam batas yang tersedia, dzikir akan ketemu dzikir meski keduanya berangkat dari dimensi berbeda, yang satu berupa do’a dan satunya ijabah.
Allah berfirman:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu” (QS.al-Baqoroh/152)
Ini merupakan gambaran interaksi dua dzikir yang berbeda, yang satu berangkat dari dimensi hadist (baru) yang satunya didatangkan dari dimensi qodim (azali). Mestinya beda tapi bisa saling bertemu, karena keduanya terpancar dari dimensi yang sama. Namun dengan syarat manakala seorang salik mampu mengkondisikan dzikir yang asalnya hadits menjadi qodim, dengan meredam yang lahir supaya kehidupan batin menjadi nyata, karena tidak mungkin dua energi bisa bertemu kecuali dalam frekuensi yang sama.

Dengan mengembalikan segala amal yang sedang dikerjakan kepada ketetapan yang sudah diputuskan maka dua dzikir tersebut bertemu dalam titik yang sudah ditentukan. Itu merupakan sunnatullah yang tidak akan ada perubahan, siapa saja dapat melakukan asal tahu ilmunya dan mendapat bimbingan secara berkesinambungan.

3. Bertauhid didalam pemilikan (tauhiidul milki).
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ
Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan (pemilikan), Engkau berikan kerajaan (pemilikan) kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan (pemilikan) dari orang yang Engkau kehendaki.(QS.Ali Imran/26)
Semua orang beriman tahu bahwa segala pemilikan hanyalah milik Allah, bukan milik diri pribadi meski itu hasil mencari setengah mati, namun hanya titipan yang harus dijaga dan diawasi, supaya dengan itu dia dapat mengabdi. Bahkan untuk nyawanya sendiri, bukan manusia yang memiliki, ketika saatnya Allah berkehendak menarik kembali, maka yang paling dicintai itu terpaksa harus direlakan pergi.
Inilah tingkat tauhid yang ketiga, ketika seorang hamba tidak merasa memiliki semua yang ada, karena dia yakin itu semua merupakan sarana ibadah yang harus dijaga, supaya dia bisa mengabdi kepada yang menurunkan anugrah, maka dia akan menjadi abdi yang sesungguhnya.
Apakah mungkin orang bisa mengabdi kepada Ilahi Rabbi ketika dia masih merasa memiliki, meski itu hanya berupa harga diri yang tidak pernah membeli, sehingga berat hati bersujud menyungkurkan diri, untuk mengagungkan Dzat yang telah menghidupi jantung dan hati.
Ketika orang merasa memiliki, baik anak istri maupun harta yang dikumpulkan setiap hari, bahkan meski itu berupa kemampuan berdzikir yang dilakukan setiap petang dan pagi, sehingga dzikir itu dijaga dengan istiqomah setengah mati, maka boleh jadi dia bukan abdi yang hakiki, tetapi hamba istiqomah yang diyakini, karena istiqomah itu sejatinya yang dicintai, bukan dengan istiqomah supaya berjumpah dengan Yang menancapkan iman dan menguatkan hati.

4. Bertauhid didalam kejadian (tauhiidul wujud).
Tauhid pada tingkat empat ini bukan berupa ilmu pengetahuan sehingga bisa diuraikan, bukan teori sehingga bisa dijabarkan, bukan argumentasi sehingga bisa diperdepatkan, tetapi rasa yang ada dalam hati seorang hamba sejati yang telah mampu berpasrah diri secara kaffah atas segala kehendak dan ketetapan. SEORANG SALIK DI JALAN ALLAH yang hatinya telah diselamatkan dari segala romantika hidup yang sudah dilalui baik yang menakutkan maupun yang menawan. Alloh Ta’ala yang mentarbiyah mereka: (“Dan Dia memberikan Walayah kepada orang-orang yang sholeh”. QS.al-A’raaf.7/196.) Sehingga hanya Alloh pula yang tahu detailnya. Apabila ada upaya manusia untuk mengintip keadaan tersebut, mencari tahu rahasia yang tersimpan dalam perbendaharaan ghaib yang terjaga, maka pasti yang tertangkap hanyalah hasil imajinasi manusiawi yang sangat terbatas sehingga patut tidak dipercaya. Semoga teman-teman tidak mempercayai uraian dalam catatan ini.
Kita mulai menyelami dalamnya samudera yang tidak bertepi, mencari tahu hal dan keadaan yang tersimpan rapat di dalam rongga dada yang terjaga. Maka sebenarnya tidak ada kata yang dapat menggambarkan keadaan tersebut, kecuali dengan bahasa rasa. Namun tentunya hanya orang yang pernah merasakan yang mampu memahaminya sehingga dengan bahasa rasa pula mereka dapat menceritakan pemahaman itu kepada orang lain. Padahal tidak ada orang yang dapat memahami bahasa rasa kecuali orang yang pernah merasakan.
Seperti orang ahli merokok misalnya, dia bisa membedakan rasa rokok yang satu dengan yang lainnya, tapi bagaimana mungkin dia bisa menceritakan rasa tersebut kepada orang yang tidak pernah merokok ..? Maka hendaklah Anda berhati-hati dalam mengikuti apa yang bisa dibaca ini, karena banyak arus liar yang bisa menjebak alam piker sehingga orang menjadi bingung, siapa yang terseret arus tersebut berarti akan mabuk kepayang.
Alam yang ada di dalam rongga dada manusia ada dua dimensi, dimensi lahir dan dimensi batin. Sebenarnya kedua alam tersebut dibatasi barzah, namun dengan izin-Nya atau yang disebut ilmu dan urusan Allah ta’ala, suatu saat barzah itu DIBIARKAN TERBUKA. Allah menggambarkan kedua alam itu dengan firman-Nya:
مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ (19) بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَا يَبْغِيَانِ
Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu-antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.(QS.Ar-Rahman/19-20)
Alam lahir disebut alam MULKI WASY-SYAHADAH dan alam batin disebut alam MALAKUT, adapun batas (barzah) kedua alam itu disebut alam JABARUT.
Konon tingkat dasar atau paling bawah dari alam JABARUT adalah alam JIN dan tingkat yang teratas adalah alam QOLAM, namun untuk mencapai alam QOLAM tersebut seorang salik harus mampu melawati segala jebakan dan ranjau yang ada di alam JIN. Di alam QOLAM itu ada tangan yang selalu menulis tiada henti, oleh karenanya alam ini disebut alam QOLAM.
Dari alam QOLAM itulah memancarkan INSPIRASI dan ILHAM ke dalam rongga dada manusia, itulah yang disebut IRODATUL AZALIYAH, sehingga dengan pancaran INSPIRASI DAN ILHAM yang azali itu kemudian terbit IRODATUL HADIS atau ‘kemuan baru’ yang disebut FAQOTUDZ DZATIYAH.
Ilham tersebut bisa baik bisa buruk, namun itu semua terjadi dengan ilmu dan urusan Allah. Allah menegaskan dengan firman-Nya:

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya - sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu - dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.(QS.asy-Syamsi/8-10)
Sungguh beruntung orang yang mampu menyucikan jiwanya meski setiap saat masuk ilham yang baik maupun ilham yang buruk. Adapun yang disebut FAQOTUDZ DZATIYAH itu wujudnya berupa keinginan manusiawi yang terbit dari dalam jiwa yang belum dipengaruhi baik oleh nafsu maupun akal, itu merupakan pintu pertama sistem tarbiyah azaliyah yang diturunkan dalam kehidupan seorang hamba, dengan itu kemudian manusia mempunyai kemauan yang sesunggunya sudah disesuaikan dengan kemampuan yang ada.
Alam QOLAM itu adalah batas yang dapat dicapai oleh seorang salik dalam melaksanakan pengembaraan ruhaniah sebelum dia mencapai alam MALAKUT yang ada dalam jiwanya sendiri. Di alam inilah letak arus yang paling kuat itu, sehingga selain Rasulullah SAW pasti akan hanyut dan tenggelam dalam rasa, sehingga orang lain mengatakan dia gila. Anda jangan mencoba melakukan pengembaraan disana sebelum siap menjadi orang gila …. he he he.
Allah menggambarkan keadaan tersebut dengan firman-Nya:
ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ (1) مَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ (2) وَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ (3) وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (4) فَسَتُبْصِرُ وَيُبْصِرُونَ (5) بِأَيِّيكُمُ الْمَفْتُونُ
Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis-berkat ni'mat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila-Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya-Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung-Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat siapa di antara kamu yang gila. (QS.al-Qolam/1-5)
Meski pengembaraan seorang salik seringkali menyebabkan dirinya MABUK atau GILA, namun ketika dia mampu melewati masa gilanya dengan selamat, dia akan mendapatkan pengalaman spiritual yang nilainya sangat tinggi. Merupakan ilmu rasa yang tidak mungkin dapat diperoleh dari lembaga pendidikan formal maupun pelatihan. Terbukanya matahati sehingga yang semula ghaib menjadi nyata. Tetapi sebaliknya, jika orang tersebut tidak mampu melepaskan diri dari arus yang menyeret perasaan itu, maka selamanya akan menjadi orang MABUK sehingga terbuang dari lingkungan yang dulu mencintainya. Menjadi jasad yang tidak bertuan sehingga kesana kemari diusir orang. Siapa yang ingin mencoba ….?? Silahkan mendaftar disini.....
Dari yang asalnya SADAR menjadi GILA tapi kemudian menuju SADAR kembali, itulah perjalanan yang harus ditempuh seorang salik sejati untuk mencapai alam kesufian. Menjadi sepi meski dalam keramaian sehingga sendiri dengan Dzat yang SENDIRI dalam kesatuan yang abadi. Yang satu SATU di BUMI yang satunya SATU di LANGIT. Tidak dengan SESUATU dan tidak untuk SESUATU, yang ada semata-mata hanya KEAGUNGAN yang menyatu. KEAGUNGAN yang tidak mempunyai AWAL dan tidak mumpunyai AKHIR. Itulah gambaraan sebuah pengembaraan ruhaniah yang menantang bahaya. Oleh karena itu, tanpa bimbingan ahlinya, dapat dipastikan orang akan tenggelam berkepanjangan dalam KEGILAAN.
Ulama ahlinya telah memberi peringatan kepada kita dengan ungkapannya yang sangat terkenal: “Barangsiapa beramal tanpa guru maka gurunya setan”. Tapi sayangnya kita yang diberi peringatan malah salah faham. Mengapa demikian ..?? karena kita memang belum pernah merasakan pahitnya mabuk dalam KEGILAAN.
Ketika orang yang sedang tenggelam itu kemudian menceritakan pengalaman perjalanannya saat tenggelam, maka tentunya mereka menggunakan BAHASANYA ORANG TENGGELAM, oleh karenanya tidak ada yang dapat memahami kecuali orang yang pernah TENGGELAM. Inilah rahasia ungkapan Ulama: “tidak ada yang tahu WALI kecuali WALI”. Jadi, jika ada orang mengaku WALI berarti perasaan orang tersebut sedang TENGGELAM dalam KEGILAAN.
Jika kita tidak ingin TENGGELAM sehingga disangka orang lain sebagai ORANG GILA, maka sebaiknya catatan pada pembahasan ini kita disudahi sampai disini saja dan kita akan melanjutkan perjalanan pada tahap merikutnya meski sesuai dengan kemampuan yang ada.
Jadi, yang dimaksud tauhid dalam wujud itu bukan pertemuan antar wujud makhluk dengan wujud Penciptanya, Maha SUCI Alloh terhadap setiap persangkaan hamba-Nya yang salah, tapi pertemuan rasa antara dua maujud yang berbeda dalam satu nuansa. Tidak ada yang dapat digambarkan kondisi pertemuan itu dengan kata-kata, yang pasti kita tahu bahwa tidak ada MUAJUD yang HAK kecuali MAUJUD-NYA maka tidak ada yang HAK DISEMBAH kecuali ALLAH TA’ALA.
Seorang penyair bersenandung dalam lamunan:

TARBIYAH

Saat gemerlap bintang mulai samar
Karena ditinggal sang dewi malam
Kokok ayam jantan
Memecah lamunan
Putuskan angan
Di dalam bingkai tirai-Mu
Kutemukan samudera
Ketika kuselami
Dan semakin dalam
Ternyata kutemukan dasar
Walau bukan dasar

Ada mutiara
Terapung
Bersinar
Aku mengkejar .....
Ternyata kutemukan aku
Mengapa aku
Padahal bukan aku

Di dalam bingkai tirai-Mu
Kutemukan samudera
Ada arus halus liputi Pelita
Ada sinar terlepas
Memantul
Membakar karat penutup mata


Di dalam bingkai tirai-Mu
Ada samudera
Yang bukan samudera
Tapi banyak penyelam
Tengelam
Mati

Dan mati yang sebenarnya
Di dalam bingkai tirai-Mu
Kutemukan tangan-tangan kokoh
Menarik tangan lemah
Yang tenggelam
Kehabisan nafas
Lalu diayun dalam dekapan
Nina bobo kasih sayang

Di dalam bingkai tirai-Mu
Kutemukan tetes air kehidupan
Sebutir benih padi
Yang terusir terpencil
Di padang tandus
Terkadang malah dapat bersemi
Walau di musim kemarau panjang
Di dalam bingkai tirai-Mu
Kutemukan kasih sayang
1997

5. Setelah salik berhasil melewati empat tahapan perjalanan ibadah dan mujahadah dengan sempurna, yakni dibukakan pintu dzikir, pintu kedekatan, pintu kerinduan terus didudukkan di maqom tauhid. Kemudian pada tahap kelima, hijab-hijab yang ada dalam hati dirontokkan dan dimasukkan ke maqom Wahdaniyat. Jiwanya melebur dalam sifat Rububiyyah sehingga perilakunya mampu memancarkan sifat yang utama dan AKHLAKUL KARIMAH.
Kekuatan suluk(mistikisme) yang mampu diaktualkan oleh seorang salik di jalan Allah Ta’ala dalam pelaksanaan dzikir dan wirid secara istiqomah, dengan didasari tauhid yang sempurna menjadikan hatinya melebur di Haribaan Tuhannya, nuraninya menyatu di dalam rahasia ke-Esaan-Nya. Seperti segelas air susu ketika dituangkan di tengah luasnya samudera, maka segelas air campur susu itu seketika melebur menjadi air yang sama.
Demikianlah jiwa manusia yang terkadang sempat tercemari kotoran basyariyah, baik yang diakibatkan perbuatan maksiat dan dosa maupun sifat dan karakter yang tercela, sehingga menjadi keruh dan buta, dengan pelaksanaan suluk yang istiqomah akhirnya kembali seperti fithrahnya.
Karena asal mula air susu dan air samudera itu memang tidak berbeda. Seandainya berbeda, seperti air dan minyak mentah, meski keduanya keluar dari tempat yang sama, akhirnya akan berpisah juga. Demikian gambaran hati orang beriman dan orang yang ingkar, meski terkadang mereka sempat menunjukkan penampilan lahir yang sama, bahkan bersama melaksanakan ibadah di bawah satu atap masjid yang sama, ternyata kehidupan mereka tidak juga mampu menunjukkan sikap persaudaraan yang sebenarnya, bahkan terkadang saling sikut-sikutan sekedar untuk berebut pengaruh dan kedudukan. Terlebih jika mereka hidup di ranah perpolitikan, maka yang asalnya murid dan guru bisa saling bermusuhan, bahkan masing-masing menjadi musuh bebuyutan. Fenomena sudah memunculkan penampakan.
Buah yang di dapat dari penyatuan dzikir tersebut adalah penyatuan dua sifat meski dalam dimensi berbeda, sehingga seorang salik mampu menerapkan sifat Rububiyah kepada sesama manusia. Menebarkan sifat rahman rahim dalam kehidupan sehingga terciptalah persaudaraan di bawah panji-panji Uhuwah Islamiyah. Mereka mampu mencintai sesama saudara karena hatinya telah dipancari NUR ILAHIYAH. Seperti itu yang telah dilakukan oleh penghulu manusia, Rasulullah Muhammad SAW sebagai USWAH DAN UDWAH manusia, terbukti dengan cintanya umat kepadanya, karena kecintaan tersebut adalah buah dari kecintaan Beliau kepada umatnya. Apakah hati akan membantah ketika Allah telah mengabadikan sejarah dengan firman-Nya:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS.al-Fath/29)
Jadi, perjalanan yang ditempuh oleh seorang salik dengan susah payah dan menantang bahaya, mempertaruhkan jiwa untuk menembus lapisan alam yang ada di dalam dada, yang asalnya SADAR menjadi GILA tapi kemudian menuju SADAR seperti sediakala, jika perjalanan itu menampakkan hasilnya, maka bukannya mereka itu akan menjadi manusia sakti mandra guna karena hidupnya dipenuhi karomah atau menjadi thobib terkenal karena mampu menyembuhkan orang sakit yang sudah koma, atau menjadi penguasa kaya karena telah berhasil menghabisi saingan dan musuh utama, tetapi tumbuhnya kemampuan dalam jiwa untuk menggalang Ukhuwah Islamiyah.




6. Setelah yang asalnya berbeda itu telah mampu kembali kepada asalnya, kembali ke Haribaan-Nya meski masih di dunia fana, selanjutnya dibukakan baginya penutup-penutup Keagungan dan Kebesaran Allah Ta'ala. Ketika matahati seorang hamba yang tembus pandang itu selalu melihat Keagungan dan Kebesaran Tuhannya maka jadilah hati itu fana di Haribaan Tuhannya.

7. Selanjutnya, Allah memberikan penjagaan (makhfudz) dan pemeliharaan (tarbiyah) kepadanya. Adapun pertama kali penjagaan dan pemeliharaan yang diberikan itu, seorang hamba terjaga dari pengakuan nafsunya sendiri sehingga selamat dari ganguan setan yang tercela. Dengan penjagaan tersebut maka jadilah dia sebagai orang yang mendapat Walayah atau disebut Waliyullah.
Tujuh tingka perjalanan tersebut merupakan tahapan futuh atau terbukanya matahati untuk bermusyahadah dan berma’rifat kepada Allah Ta’ala, hal tersebut harus dicapai oleh seorang salik melalui tahapan suluk(meditasi islami). Untuk itu seorang hamba harus menjalani jalan ibadah(thoriqot) yang terbimbing oleh guru ahlinya(guru mursyid yang suci lagi mulia).
Manakala jalan ibadah dilakukan itu tanpa bimbingan dari ahlinya, maka yang akan menjadi pembimbing pejalanan adalah setan Jin yang siap siaga. Amal ibadah itu bukannya menghasilkan karomah atau ma’rifatullah, tapi boleh jadi malah menghasilkan kelebihan pribadi yang disebut istidroj sehingga malah mendorong manusia terperangkap kepada tipu daya setan Jin yang cela.
Akibatnya, hasil akhir mujahadah dan riyadhoh yang dilakukan itu hanya menjadikan para salik menjadi dukun dan paranormal yang cenderung berbuat syirik, sombong dan takabbur karena diri merasa punya kelebihan. Terlebih ketika dukun dan paranormal itu berangkat dari pesantren yang terkenal, dari orang-orang yang pandai membaca kitab kuning dan berpidato di depan orang, maka orang awam mengira itulah gambaran Kyai yang diidam-iadamkan. Sehingga para santri tidak ragu mengikuti perbuatan yang mereka lakukan, akhirnya mereka saling berlomba mencalonkan diri menjadi wakil pejabat meski tidak punya uang, karena hatinya bernafsu ingin mempunyai kekuasaan.
Inilah penyebab kehancuran tatanan kehidupan, karena pimpinan telah membangunkan paradigma secara terang-terangan, maka santri-santri yang meniru tidak mudah diajak sadar dari kesalahan. Oleh karena itu, tidak cukup hanya ilmu saja kemudian diamalkan untuk mencapai tujuan. Ilmu itu harus digurukan, lalu dengan bimbingan, baru ilmu itu dipraktekkan. Sebab yang harus diilmui adalah hatinya sendiri, supaya hati itu bebas dari kotoran karakter basyariyah yang dapat menyesatkan jalan kehidupan.
Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jilani ra. berkata: “Seseorang tidak akan dibuka hatinya kecuali mereka yang telah bersih dari pengakuan nafsu dan kemauan syahwat. Maka ketika seseorang teledor untuk mensucikan jiwanya, ia diuji oleh Allah dengan sakit, sebagai kafarat dan pensucian terhadap jiwanya, sadar maupun tidak, supaya dia pantas untuk bermujalasah di hadapan Tuhannya” (Lujjainid Dani)

12 komentar:

  1. Assalamualaikum ,
    mohon ijin,
    bgaimana cara nya untuk mendapat guru yang cocok untuk berbaiat.

    BalasHapus
  2. Assalamu'alaikum. ...gmn caranya agar bisa menenangkan hati n pikiran...sukron.

    BalasHapus
  3. Assalamu'alaikum. ...gmn caranya agar bisa menenangkan hati n pikiran...sukron.

    BalasHapus
  4. Wlkmslm..Silahkan datangi ponpes suryalaya, tasikmalaya..insya Allah akan bertemu yg membaiat..aamiin

    BalasHapus
  5. Assalamu'alaykum, bagaimana saya bisa bertemu dengan guru ahli yang dapat membimbing saya?
    Terima Kasih

    BalasHapus
  6. Untuk putri datanglah ke kab. Nganjuk desa tanjunganom. Insya allah dek putri dapat bertemu sekaligus di bimbing oleh guru sejati.

    BalasHapus
  7. Untuk putri datanglah ke kab. Nganjuk desa tanjunganom. Insya allah dek putri dapat bertemu sekaligus di bimbing oleh guru sejati.

    BalasHapus
  8. Masukkan komentar Anda...assalamualaikum
    bagaimana caranya agar saya bisa mendapatkan bimbingan spiritual.& kepada siapa saya harus brlajar?
    trimakasih

    BalasHapus
  9. Syukur Alhamdulillah, terimakasih artikelnya

    BalasHapus
  10. Stainless Steel Glass Glasses for Sale | TitaniumBarts
    Steel Glasses for sale. Get the is titanium expensive best trekz titanium headphones prices titanium 4000 on Stainless Steel titanium gold Glasses and upgrade your gaming experience with your next order. mens black titanium wedding bands

    BalasHapus